Jumat, 18 Mei 2012

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN (INVESTASI) SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA


Nama : Goretti Rosevin Silaban
NIM  : 7101220007
Kelas : Akuntansi Nondik- (A)


Sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional .Walaupun demikian , sektor pertanian msih dihadapkan pada beberapa masalah , misalnya kekurangan modal petani dala pembiayaan pertanian secara legal forma merupakan lembaga intermediasi keuangan .Sektor pertanian memilik peranan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional antaranya : sebagai penyerap tenaga kerja , kontribusi terhadap produk domestik bruto , sumber devisa , bahan baku industri , sumber bahan pangan dan gizi serta pendorong bergeraknya sektor – sektor ekonomi rill lainnya .
Perbankan nasional , secara teori memiliki potensi sangat besar sebagai salah satu sumber pembiayaan sektor pertanian .Lembaga ini memiliki core bussiness menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke pelaku usaha  dalam bentuk kredit / pembiayaan .Fakta menunjukkan bahwa secara umum ada kecenderungan perbankan nasional kurang antusias untuk menyalurkan kredit ke sektor pertanian .Sebagai gambaran , selama tahun 2002-2006 , pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata 5,72 persen ( BI 2006) .
Minimnya pembiayaan di sektor pertanian oleh perbankan semakin nampak jelas jika melihat kinerja bank tertentu yang terkenal  concern dalam pembiayaan sektor pertanian misalnya BRI . Target fortofolio pinjaman di BRI untuk sektor agribisnis sebesar 40 persen dan nonagribisnis 60 persen .Namun dalam realisasinya , pencapaian fortofolio kredit agribisnis hanya 22,44 persen dan 77,56 persen untuk nonagribisnis.
Para banker terlihat sangat hati-hati untuk menyalurkan dana ke sektor pertanian karena menyangkut pertimbangan kepentingan bisnis.Perbankan merupakan intermediasi keuangan  harus mampu mengelola dana nasabah agar memberikan keuntungan yang optimal .Konsikuensinya adalah sektor usaha yang memiliki  ekspektasi keuntungan yang besar akan mendapat prioritas pembiayaan , sehingga perbankan dapat terus dipercaya oleh masyarakat.
Terkait oleh sektor pertanian oleh perbankan , memang untuk subsistem agribisnis hulu dan hilir serta subsistem tertentu misalnya peternakan dan perkebunan telah mampu menarik beberapa bank untuk mengucurkan kreditnya , namun jika dibandingkan dengan total kebutuhan pembiayaannya , serta potensi yang sangat besar di sektor pertanian nila kredit tersebut masih jauh dari memadai.Kebutuhan pembiayaan di sektor pertanian  tidak hanya sebatas untuk keperluan investasi atau modal kerja ,tetapi juga menghadapi tantangan lain berupa permasalahan infrastruktur pertanian yang memerlukan biaya sangat besar.
Menurut Krishnamurti (Kompas , 6 Agustus 2008) untuk mengembalikan daya dukung  pantai utara sebagai infrastruktur dasar pertanian seperti kondisi pada awal 1990-an dibutuhkan reinvestasi jangka panjang sekitar Rp 100 triliun untuk 5-10 tahun kedepan. Besaran investasi yang sama juga diperlukan untuk pembukaan wilayah-wilayah pertanian di luar Jawa .Kenyataan ini menunjukkan bahwa untuk membangun sektor pertanian diperlukan dukungan dana yang sangat besar dari pihak perbankan yang mungkin saja harus dipenuhi dengan membentuk konsorsium antarbank.

POTENSI DAN KENDALA PEMBIAYAAN PERTANIAN OLEH PERBANKAN NASIONAL
                Perbankan Nasional memiliki posisi dan peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia , karena perbankan menjadi sumber utama pembiayaan  berbagai sektor usaha.Walaupun pemerintah telah berusaha untuk mengembangkan sektor pertanian secara serius , akan tetapi permasalahan klasik yang membelit skema pembiayaan pertanian belum dapat dilurai secara baik , sehingga perlu dirumuskan jalan keluarnya yang efektif.
Potensi
            Secara konseptual , prospek perbankan nasional untuk mendukung pembiayaan sektor pertanian masih sangat terbuka .Hal ini dapat dilihat dari dua sisi pandang , yaitu dari potensi jumlah dana dan assets yang dimiliki perbankan nasional serta dari sisi melimpahnya potensi sektor pertanian di Indonesia .Berdasarkan sensus Pertanian ( 2008) tercatat jumlah Rumah Tangga Pertanian sebanyak 25,6 juta .
            Dalam inplementsinya , bagi bank yang cukup lama menggeluti sektor pertanian , seperti BRI yang memiliki jaringan hingga pelosok kecamatan bank desa , pengetahuan terhadap sektor pertanian cukup baik .Faktor inilah  yang menyebabkan BRI masih menjadi leader dalam penyaluran kredit di sektor pertanian  dan pedesaan .Sementara bank yang beroperasi di wilayah perkotaan , pengetahuan tentang sektor pertanian relatif kurang sehingga dukungan kredit untuk sektor pertanian juga relatif kecil.
            Perbankan memiliki kelebihan dibandingkan dengan lembaga pembiayaan  lainnya , diantaranya : 1) pinjaman lebih besar , 2) memiliki kekuatan hukum yang jelas ,3) dapat melayani kebutuhan modal untuk segala jenis usaha dan lapisan masyarakat asalkan dipandang feasibel pada bank tertentu, 4) sistem pembiayaan telah disesuaikan dengan karakteristik usaha pertanian serta memiliki sistem reward pusnishment yang tegas sehingga mendorong masyarakat lebih bertindak profersional dalam berusaha.

Kendala dan permasalahan
            Lembaga pembiayaan formal perbankan juga memiliki  sejumlah kekurangan , diantaranya : jangkauan pelayanan kredit masih sangat terbatas , persayaratan dalam pengajuan kredit masih sangat rigid sehingga tidak semua masyarakat dapat mengakses pinjaman , jangka waktu proses kredit relatif lama karena harus ada cheking dan screening , biaya transaksi yang masih terlalu besar  , persyaratan agunan yang masih menetapkan barang yang telah meiliki kekuatan hukum  formal dan penilaian terhadap agunan cenderung sangat rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap nilai pinjaman yang diberikan.
            Tiga persoalan yang terkait dengan relatif rendahnya pembiayaan sektor pertanian oleh pihak perbankan.Pertama , minimnya informasi dan buruknya komunikasi antara sektor pertanian dan lembaga keuangan perbankan dan nonperbankan.Kedua , perhatian sektor perbankan yang masih terfokus pada agribisnis modern dan perkebunan besar dan belum menyentuh para petani menengah dan kecil.Ketiga , pragmatisme keputusan mikro bisnis perbankan dan skeptisme dukungan kebijakan ekonomi makro .Perbankan mengambil keputusan sesuai dengan keputusan bisnisnya sesuai dengan ketentuan bank umum yang harus mengikuti prudential banking
PERAN PERBANKAN DAN OTORITAS PERBANKAN DALAM MENDORONG PEMBIAYAAN DI SEKTOR PERTANIAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH
Pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam mendukung upaya menempatkan sektor pertanian sebagai andalan dalam penanggulangan kemiskinan dan pengangguran melalui program revitalisasi pertanian.
            Kebutuhan investasi pada sektor pertanian untuk mencapai sasaran revitalisasi untuk periode 2005-2010 diperkirakan sebesar 183,1 triliun atau rata-rata 30,5 triliun pertahun yang diharapkan dapat dipenuhi pemerintah , swasta maupun masyarakat .Kebutuhan invesatasi menurut subsektor selama periode tersebut adalah untuk tanaman pangan dan holtikultura Rp 33,5 triliun, perkebunan Rp 87,4 triliun dan peternakan Rp 62,3 triliun ( Departemen pertanian 2007) .
            Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan pembiayaan sektor pertanian diantaranya adalah melalui APBN dan non APBN .Dengan instrumen APBN akan dilakukan dengan cara : peningkatan akses permodalan melalui kredit , memberikan bantuan penguatan modal kepada petani melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan , fasilitas bagi peningkatan usaha produksi pertanian ( subsidi).Sementara non APBN adalah memberlakukan kewajiban pembiayaan bagi perbankan dan penerapan coorporate social responsibility bagi BUMN.
            Pemerintah telah berupaya menyediakan permodalan bagi petani yang disesuaikan dengan tingkat usaha petani , yaitu : bagi petani miskin dengan penguatan permodalan (APBN) melalui kelompok dengan bantuan langsung kepada masyarakat, bagi petani yang tidak mampu pada bunga komersial melalui skim kredit ketahanan pangan  energi dan program kemitraan  bina lingkungan , bagi petani/ peternak yang feasible tapi belum bankable difasilitasi melalui kredit usaha rakyat  dengan pola pinjaman merupakan inspirasi dan skim pembiayaan pertanian dan bagi petani yang sudah bankable melalui skim kredit komersial.
            Strategi yang ditempuh pemeintah dalam kebijakan perkreditan untuk sektor pertanian dengan mengarahkan pada keterlibatan perbankan formal sebagai pelaksana ( executing agency) merupakan langkah yang tepat.Namun, kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan upaya yang lebih sunguh-sunguh dalam membantu petani/pelaku usaha , kemampuan manajerial maupun aksesbilitas terhadap perbankan formal.
 
Kebijakan BI
            Sejak berlakunya UU No 23/1999 tentang BI , maka kebijakan BI dalam mendukung peningkatan iklim usaha atau sektor rill telah mengalami perbahan mendasar.Perubahan tersebut adalah bahwa BI dan pemberian bersifat tidak langsung antara lain melalui regulasi  dan fasilitas dalam peran-peran strategis.Dengan kata lain BI tidak secara khusus mendesain  suatu kebijakan dalam bidang perkreditan secara sektoral, kebijakan lebih diarahkan  untuk mendukung pengembangan UKM terutama yang berbasis komoditas unggulan.Kebijakan tersebut dituangkan dalambentuk pengaturan dan pemberian bantuan teknis serta kerjasama dengan pemangku kepentingan .
SOLUSI ALTERNATIF DALAM PENINGKATAN PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN
                Dengan melihat potensi perbankan yang cukup besar dalam pembiayaan sektor pertanian serta  berbagai kendala yang masih menghambat diperlukan solusi alternatif agar sektor pertanian dapat alokasi pembiayaan yang memadai.Arifin ( 2007) menawarkan solusi permasalahan minimnya sektor pertanian yaitu :pertama , sektor pertanian yang berada dalam skala ekonomi dan agribisnis disarankan untuk mampu mengemas dirinya sendiri agar lebih  menarik bagi perbankan.Kedua pengembangan skema pembiayaan kedepan dengan tingkat bunga komersial biasa.Ketiga perlu suatu keberanian dan terobosan pemihakan kebijakan  perbankan yang lebig propertanian dan usaha mikro dan kecil.
            Alternatif solusi berupa perbankan pertanian didasarkan pada beberapa pertimbangan : (a) skala bisnis yang sangat besar dari tingkat mikro sampai pada tingkat makro , serta luasnya cakupan subsektor pertanian.(b) bank fokus kepada pembiayaan pertanian dari lembaga pembiayaan formal lainnya sangat terbatas ,(c) skim kredit dari pemerintah yang seringkali menimbulkan moral hazard karena dianggap sebagai bantuan dan bukan bantuan yang komersial , (d) memungkinkan rancangan skim kredit  dan SDM dibangun secara fokus sesuai karakteristik pertanian dan (e) mengaklerasikan pemerataan  pendapatan , memperbaiki  struktur ekonomi , memperkuat ketahanan pangan secara berkelanjutan dan meningkatkan daya saing pertanian.
            Dalam  pengembangan kelembagaan sektor pertanian  secara umum dapat ditempuh melalui integrasi sektor pembiayaan perbankan dengan kelembagaan sektor nonperbankan skala mikro .Caranya adalah melalui aliansi strategi dengan membuat pooling fund bagai pembiayaan nonperbankan tersebut , misalnya koperasi dan LKM lainnya .Aliansi ini ditempuh untuk mensinergikan kekuatan dan sekaligus kekurangan dari kedua bentuk lembaga tersebut.Pola pembiayaan syariah bisa dijadikan dasar untuk operasional perbankan pertanian yang memiliki sisi keunggulan dibandingkan dengan bank konvensional dan lebih tepat untuk sektor pertanian.
            Untuk mendukung pembiayaan pertanian oleh perbankan , perlu juga untuk mulai memikirkan lembaga asuransi tanaman yang berguna untuk mengatasi resiko gangguan cuaca , kegagalan panen dan lain-lainnya.
PROFIL SINGKAT PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN INVESATASI DAN KINERJANYA DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN
                Perbankan nasional yang secara teori memiliki kemampuan menghimpun dana masyarakat dalam jumlah yang sangat besar  , ternyata belum maksimal dalam mendanai sektor pertanian  , setidaknya ini diketahui  dari proporsi kredit perbankan nasional untuk sektro pertanian yang masih sangat rendah .Sebagaimana gambaran selama kurun waktu 2004 -2008 , pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian berkisar antara 5,14-5,92 persen. 
                Besaran pangsa sektor pertanian  masih selalu dibawah pangsa sektor perindustrian , perdagangan dan jasa dunia usaha .Rendahnya alokasi tersebut untuk dunia pertanian itu diduga terkait dengan strategi penyaluran kredit perbankan yang lebih diarahkan ppada kredit beresiko rendah .Apalagi dengan perkembangan perekonomian yang belum sepenuhnya pulih telah mendorong perbankan untuk menyesuaikan strategi yang lebih memfookuskan penyaluran kredit yang meiliki resiko yang lebih terkendali , yaitu yang lebih bersifat jangka pendek dan plafon yang tidak terlalu besar .Sektor yang memiliki kriteria demikian terutama terdapat dalam sektor perdagangan .

[Artikel - Th. I - No. 6 - Agustus 2002]
Mubyarto
INVESTASI JEBLOK = EKONOMI MEROSOT, BENARKAH?  
Ekonomi Indonesia tidak mungkin pulih dari krisis jika pemerintah dan masyarakat tidak berusaha keras mengadakan investasi atau meningkatkan kembali nilai investasi yang merosot terus sejak krisis tahun 1997/98”. Inilah diagnosis ekonomi khas ekonomi Neoklasik. Sifat khas diagnosis mereka adalah menganggap dunia ekonomi adalah otonom, dianggap lepas (atau bisa dilepas) dari dunia politik, sosial, hukum, dan moral. Memang diagnosis yang lengkap pasti disertai asumsi: jika politik stabil, kondisi sosial pulih, hukum dipatuhi, dan moral bangsa Indonesia kembali baik, maka diagnosis dan prognosis ekonomi ekonomi Indonesia akan demikian itu. Namun masalahnya  para ekonom Neoklasik ini tidak merasa perlu menyatakan asumsi-asumsi tersebut, karena diagnosis dan prognosis ekonom selalu disertai asumsi ceteris paribus, yang menurut mereka tidak perlu dikatakan, mestinya orang sudah tahu. Inilah arogansi ilmu ekonomi yang menganggap semua orang sudah tahu metode berpikir para ekonom sehingga tidak dianggap perlu menerangkannya.
Saya sangat prihatin Kompas tanggal 25 Juli tidak menyadari adanya kelemahan mendasar dari paradigma ekonomi Neoklasik yang dipakai dalam pelaporan dan penulisan tajuk-tajuk rencana tentang ekonomi Indonesia. Paradigma yang dipakai adalah persaingan bebas liberal seperti dalam textbook Neoklasik Amerika yang kemudian diterapkan secara deduktif atas ekonomi Indonesia dengan asumsi kondisi ekonomi dan budaya Indonesia tidak berbeda dengan kondisi ekonomi dan budaya Amerika.
Pernyataan-pernyataan demikian tentang ekonomi rakyat Indonesia diragukan berasal dari hasil penelitian empirik, tetapi disimpulkan secara deduktif karena sistem persaingan bebas liberal di Barat (Amerika) kondisinya memang demikian. Perusahaan-perusahaan bangkrut dan muncul secara silih berganti tanpa ampun, dan mestinya di sinipun di sektor ekonomi rakyat juga begitu. Inilah anggapan yang keliru. Sebenarnya kesimpulan itu tidak konsisten dengan gambaran sesudahnya tentang ekonomi rakyat yang bersifat “tolong menolong di antara keluarga besar”. Benarkah ekonomi rakyat bisa digambarkan seperti keluarga besar? Kiranya ini sekedar “sindiran” atas bunyi pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Perlu dicatat bahwa asas kekeluargaan tidak berarti perekonomian Indonesia secara keseluruhan merupakan keluarga besar. Kerjasama dalam usaha seperti koperasi tidak perlu bersifat tolong menolong tetapi bekerja bersama untuk mencapai hasil yang bermanfaat bagi semua. Yang sering dikelirukan juga adalah bahwa di kalangan ekonomi rakyat tidak ada persaingan. Sebaliknya persaingan keras sering terjadi antara usaha-usaha mikro dan kecil namun persaingan yang tidak saling mematikan. Justru dalam kenyataan hanya di antara perusahaan-perusahaan besar terjadi pengelompokan-pengelompokan usaha (grup-grup) kadang-kadang secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk persekongkolan untuk memenangkan persaingan yang melawan kepentingan umum (Adam Smith, 1776), sedangkan dalam usaha-usaha kecil dan mikro persekongkolan seperti ini tidak ada.
Satu kesalahan fatal terjadi jika angka-angka persetujuan investai (PMDN dan PMA) yang merosot dianggap sebagai satu-satunya indikasi kemunduran ekonomi Indonesia. Mengapa pernyataan dalam berita utama Kompas tanggal 24 Juli bahwa angka persetujuan investasi itu sendiri tidak memasukkan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non-bank, asuransi, dan sewa guna usaha tidak dijadikan peringatan untuk mengoreksi kesimpulan penulis tajuk rencana. Mengesampingkan angka-angka investasi di luar angka BKPM jelas fatal, karena sejak krisis peranan lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, koperasi, pegadaian, dan lembaga-lembaga informal termasuk investasi-investasi pribadi dunia usaha yang tidak terdaftar besar sekali, yang angkanya dapat dicari jika penulis tajuk mau sedikit menggali melalui penelitian sederhana. Memang inilah perbedaan besar cara kerja ekonom dan anthropolog. Anthropolog menggunakan data primer dan sekunder, sedangkan ekonom menggunakan data tersier dan sekunder. Jika ekonom Indonesia ingin analisis-analisis ekonominya lebih realistis dan relevan untuk Indonesia, sebaiknya menggunakan pendekatan ekonomi-anthropologi, tidak hanya menggunakan metode deduktif dan data sekunder dan tersier. Memang ada kecenderungan penulis tajuk secara a priori menunjuk krismon sebagai penyebab utama anjlognya investasi sehingga kurang waspada melihat bahwa penurunan PMDN sudah dimulai tahun 1996 dan PMA tahun 1997 padahal pada tahun-tahun itu pertumbuhan ekonomi masih positif tinggi. Artinya, tidak benar bahwa investasi sebagaimana tercermin dari angka-angka persetujuan PMDN dan PMA merupakan kunci pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu cukup menyesatkan pesan yang ingin diberikan oleh berita utama Kompas, 24 Juli, yang berjudul: Persetujuan PMA turun 42 persen. Jelas bahwa penurunan ini bisa tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional, lebih-lebih bila diingat di Malaysia dan Filipina investasi juga anjlog masing-masing 69 persen dan 39 persen untuk periode yang sama.
Jika kita ingin menjelaskan kondisi riil ekonomi Indonesia, hendaknya kita bersedia mengadakan penelitian empirik langsung ke lapangan, tidak hanya mengotak-atik angka-angka statistik makro dengan menggunakan rumus-rumus buku teks Amerika. Kami baru saja ikut serta melakukan penelitian lapangan tentang aspek kehidupan rumah tangga (SAKERTI) di 13 propinsi dengan mewawancara 10.400 keluarga (43.600 individu) Juni – Desember 2000. Hasilnya antara lain kesempatan kerja 1997-2000 tidak menurun, tetapi meningkat 4,2% dari 79,4% menjadi 83,6%. Data ini berarti menolak kesimpulan Tajuk Kompas bahwa pengangguran di Indonesia makin parah. Juga ditemukan bahwa 75% dari keluarga yang diwawancara melaporkan tidak adanya penurunan kesejahteraan, dan lebih dari 70% mengatakan standar hidup mereka memadai.
            Hal ini juga sangat berpengaruh pada sektor pertanian , apabila investasi melemah , bagaimana mungkin pembiayaan sektor pertanian bisa meningkat ? Minimnya sektor pertanian oleh perbankan semakin jelas jika melihat kinerja yang amburadul.Perbankan nasional memiliki  pondasi yang sangat kuat dalam pengembangan perekonomian yang ada dalam negara ini , terkhusus dalam pertanian. Belakangan ini sangat jelas terlihat ada kecenderungan perbankan yang kurang antusias dalam pemeberian kredit pembiayaan dalam berinvestasi di sektor pertanian.

A. PENGERTIAN INFLASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEGIATAN PEREKONOMIAN


Bab i
Pendahuluan
A.    LATAR BELAKANG

Latar belakang penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas akhir semester yang telah diinstruksikan oleh dosen mata kuliah pengantar ekonomi makro.
Akan tetapi , hal penting yang mendasari penulisan makalah ini adalah untuk menambah dan melatih penulis dalam menyusun sebuah karya tulis dan untuk mengetahui lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya keadaab inflasi dan apa hubungannya dengan kegiatan ekonomi saat ini.
Belakangan ini banyak kalangan yang dengan optimisnya mengatakana bahwa keadaan perekonomian negara membaik , bahkan bank dunia , IMF dan pemerintah menganggap masa-masa sulit perekonomian sudah terlampaui.Hal ini seringkali dipaparkan dan bahkan dibuktikan dengan cara menunjukkan bahwa nilai rupiah menguat sekalipun demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan terus berlangsung , inflasi mereda , tingkat suku bunga mulai menurun , surplus neraca perdagangan mereda , transaksi berjalan mengalami surplus setelah belasan tahun mengalami defisit dan perbaikan beberapa indikator ekonomi lainnya..
Persoalan yang lebih pelik lagi mengingat pemulihan ekonomi yang berarti belum cukup meyakinkan , sekalipun harus diakui beberapa kebijakan pemerintah telah menampakkan hasil positif .
Variabel moneter masih diwarnai dengan tingakt inflasi yang masih sangat tinggi dan tingkat suku bunga yang belum turun , jumlah uang yang beredar masih sangat besar dan kurs yang masih belum stabil .Sementara sektor real masih lesu , para investor menunggu dan melihat  terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah , sementara itu kepercayaan internasional belum pulih ditandai dengan tidak adanya capital inflow .
Penyakit inflasi yang masih menjadi momok karena menggerogoti dan menimbulkan instabilitas perekonomian yang telah gagal dikendalikan kabinet reformasi .Membumbungnya inflasi terlihat jelas dari semua kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan harga yang berlipat ganda .Lonjakan inflasi terjadi semenjak kenaikan harga BBM .Hal ini disebabkan harga BBM menyumbang 5,9 % perhitungan harga indeks konsumen di Indonesia.Jika rata-rata kenaikan BBM 50% , maka akan berdampak langsung terhadap inflasi sebesar 2,96 %.
Dengan adanya kecederungan kurs dan tingkat inflasi yang terus melejit , maka tidak ada otoritas  moneter selain kebijakan pengetatan likuiditas .Jika keadaan tersebut terjadi berkepanjangan , maka perbankan akan menuju kebangkrutan .
Salah satu titik awal kelahiran ilmu makro adalah adanya permasalahan ekonomi jangka pendek yang tidak dapat  diatasi oleh teori ekonomi klasik .Masalah ekonomi klasik tersebut yaitu inflasi , pengangguran dan neraca pembayaran .Munculnya ekonomi makro dimulai dengan terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1929 .Depresi ini merupakan suatu malapetaka yang terjadi dalam ekonomi dimana kegiatan produksi terhenti akibat adanya inflasi yang tinggi dan pada saat yang sama terjadi pengangguran yang tinggi pula .
Inflasi adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus-menerus , oleh karenanya maka apabila terjadi kenaikan harga hanya bersifat sementara , maka kenaikan harga yang sementara sifatnya tersebut tidak dapat dikatakan inflasi .Semua negara di dunia mengalami inflasi .Oleh karena itu tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah ekonomi yang dihadapi oleh suatu negara.
Didasarkan pada faktor-faktor penyebab inflasi maka ada tiga jenis inflasi yaitu :
1.      Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation)
2.      Inflasi desakan biaya ( cost-push inflation)
3.      Inflasi karena pengaruh impor ( imported inflation)
Inflasi tarikan permintaan atau inflasi dari sisi permintaan adalah inflasi yang disebabkan adanya kenaikan permintaan agregat yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa  yang ditawarkan . Karena jumlah barang yang diminta terlalu besar daripada barang yang ditawarkan maka terjadi kenaikan harga  .Inflasi tarikan permintaan biassanya berlaku pada saat perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat .Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat / tinggi mendorong peningkatan permintaan , sedangkan barang yang ditawarkan tetap karena kapasitas produksi sudah maksimal sehingga mendorong kenaikan harga yang terus menerus .
Inflasi desakan biaya atau inflasi dari sisi penawaran adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat  dari adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi , sehingga perusahaan mengurangi supply barang dan jasa .Peningkatan biaya produksi akan mendorong perusahaan untuk menaikkan harga barang dan jasa , meskipun mereka harus menerima resiko akan menghadapi penurunan permintaan terhadap barang dan jasa yang mereka produksi .Sedangkan inflasi karena pengaruh impor adalah inflasi yang terjadi karena naiknya harga barang di negara-negara asal barang itu , sehingga terjadi kenaikkan harga umum didalam negeri.
Pertumbuhan kegiatan ekonomi merupakan salah satu indikator yang sangat  penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian , terutama untuk melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan oleh suatu negara atau suatu daerah .Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya .Dengan demikian , pertumbuhan ekonomi menunjukkan  sejauh mana aktivitas perekonomian dapat mengahsilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode       tertentu .Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan , maka itu menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan sangat baik.
Di Indonesia kenaikan harga-harga atau inflasi pada umumnya disebabkan karena adanya kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) , bukan karena permintaan .Dengan alasan inilah , maka tidaklah tepat bila perubahan tingkat pengangguran di Indonesia lebih tepat jika dikaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi .Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan  peningkatan penggunaan tenaga kerja , begitu pula dengan investasi .Dengan meninggkatnya investasi pasti permintaan tenaga kerja akan bertambah , sehingga dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan adanya peningkatan investasi berpengaruh terhadap penurunan tingkat pengangguran dengan asumsi investasi tidak bersifat padat modal .
B.     TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Adapun tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas akhir semester yang telah ditetapkan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan .Akan tetapi , tujuan penting lainnya yang menyangkut penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis untuk pendalami pengetahuan dan skill  dalam bidang permasalahan di ekonomi makro terlebih lagi didalam mengetahui laju inflasi dan perkembangan kegiatan ekonomi di negara kita .




C.    PERUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi masalah dalam topik ini adalah sebagai berikut :
·         Apa sebenarnya penyebab terjadinya inflasi itu didalam suatu perekonomian sebuah negara atau wilayah ?
·         Seberapa besarkah pengaruh inflasi pada proses kegiatan ekonomi , pertumbuhan ekonomi dan bahkan pengaruhnya pada pengagguran ?
·         Apa pengaruh inflasi pada perekonomian ?
·         Apa dampak inflasi pada kegiatan ekonomi masyarakat ?
·         Masalah apa yang ditimbulkan oleh inflasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN INFLASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEGIATAN PEREKONOMIAN

Dalam ilmu ekonomi infalsi adalah suatu proses yang meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus ( kontinu) yang berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor , antara lain konsumsi atau bahkan spekulasi , sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang .Dengan kata lain , inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa bukan tinggi rendahnya tingkat harga , artinya tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi.inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan dan dianggap terjadi jika tingkat proses kenaikan harga berlangsung secara terus menerus dan saling memperngaruhi .Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga .Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan , yaitu , inflasi ringan yang terjadi apabila kenaikan harga berada dibawah angaka 10% setahun , inflasi sedang antara 10%-30% setahun , inflasi berat 30%-100% pertahun dan hiperinflasi atau inflasi tek terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada diatas 100% setahun .
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal , yaitu tarikan permintaan ( kelebihan likuiditas /uang/ alat tukar) dan yang kedua adalah desakan ( tekanan) produksi dan atau distribusi ( kurangnya produksi dan/ atau juga termasuk kurangnya distribusi ).Untuk yang pertama lebih dipengaruhi dengan peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral ) , sedangkan untuk sebab yang kedua lebih dipengaruhi dengan peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh pemerintah seperti fisikal ( perpajakan/ pungutan/insentif /disentif ), kebijakan pembangunan infrastruktur , regulasi dan lain-lain.
Inflasi tarikan permintaan terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dari yang biasanya , dan ini dipicu oleh membanjirnya likuiditas dipasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga .Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi yang terus  meningkat .Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat .Jai inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment  dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas pasar yang berlebihan . Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang , kebijakan suku bunga bank sentral , sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan .
Inflasi desakan biaya terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi , walaupun permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan .Adanya ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola  atau skala distribusi yang baru .Berkurangnya produksi sendiri  bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi , aksi penimbunan,sehingga memicunya kelangkaan produksi yang terkait tersebut dipasaran .Begitu juga dengan hal yang sama dapat terjadi pada distribusi , dimana dalam hal faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting .
Inflasi memiliki dampak negatif dan dampak positif , tergantung parah atau tidaknya inflasi .Apabila inflasi itu ringan , justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian labih baik , yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja , menabung dan mengadakan investasi .Sebaliknya , dalam masa inflasi yang parah , yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali , keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu .Orang tidak bersemangat kerja , menabung atau mengadakan investasi dan produksii karena harga meningkat dengan cepat .Para penerima pendapatan seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bank Sentral memainkan peranan yang sangat penting dalam mengendalikan inflasi .Bank Sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar .Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak diluar bank sentral termasuk pemerintah .Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen , salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian akan mendorong tingkat inflasi yang tinggi .
Bank Sentral pada umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga . Selain itu , bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik .Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal maupun eksternal ( dicerminkan oleh tingkat inflasi dan kurs) .Selain pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia , termasuk oleh Bank Indonesia .
PENGARUH INFLASI TERHADAP PEREKONOMIAN
Inflasi dapat mengakibatkan perekonomian tidak berkembang .Sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi , inflasi berdampak sebagai berikut :
v  Mendorng penanaman modal spekulatif
Inflasi mengakibatkan para pemilik modal cenderung melakukan spekulatif .Hal ini dilakukan dengan cara membelu rumah , tanah dan emas .Cara ini dirasa oleh mereka lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang lebih produktif.
v  Menyebabkan tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi .
Untuk menghindari kemerosotan nilai uang atau modal yang mereka pinjamkan , lembaga keuangan akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman .Apabila tingkat inflasi tinggi , maka tingkat suku bunga juga akan tinggi .Tingginya suku bunga akan mengurangi kegairahan penanaman modal untuk mengembangkan usaha-usaha produktif .
v  Menimbulkan ketidakpastian keadaan ekonomi dimasa depan
Apabila gagal mengendalikan inflasi , akan berdampak terhadap ketidakpastian ekonomi .Selanjutnya arah perekembangan ekonomi sulit untuk diramal  .Keadaan semacam ini akan mengurangi kegairahan pengusaha untuk mengembangkan kegiatan ekonomi .
v  Menimbulkan masalah neraca pembayaran
Inflasi akan menyebabkan harga barang-barang impor lebih murah daripada harga barang yang dihasilkan didalam negeri .Hal ini akan mengakibatkan impor berkembang lebih cepat daripada ekspor .Selain itu , arus modal keluar negeri akan lebih banyak dibanding yang masuk kedalam negeri .Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya defisit neraca pembayaran dan kemerosotan nilai mata uang dalam negeri .

Inflasi merupakan suatu penyakit makro yang selalu menjadi perhatian pengambil kebijakan ekonomi .Hal ini disebabkan karena masalah ini sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat .Suatu pemerintahan dapat dikatakan gagal apabila tidak mampu mengatasi masalah inflasi .
Penyebab inflasi sangat beragam , oleh sebab itu pengambil kebijakan harus tahu persis apa akar permasalahan yang menyebabkan kenaikan pada harga barang dan jasa .Untuk kurun waktu 1990-an ,beberapa pengamat menilai dan merumuskan beberapa faktor penyebab inflasi diantaranya adalah devaluasi , kenaikan gaji pegawai negeri , kenaikan harga BBM dan kenaiakan harga listrik.
BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan tingkat inflasi yang sungguh menakutkan pelaku bisnis ,  inflation rate feared to surpass target .Sebagaimana diumumkan BPS , selama Januari –Maret 2008 tingkat inflasi mencapai 3,14 % secara berturut-turut tingkat infalsi Januari ( 1,77  % ) , Februari ( 0,65 % ) dan Maret ( 0, 95 % ). Dengan demikian Maret 2007-2008 tingkat inflasi (8,17%) sudah lebih tinggi dari target pemerintah untuk tahun 2008 ( 6,5% ) .Disamping itu angka tersebut sudah jauh lebih tinggi dibanding triwulan pertama 2007 ( 1,90 % ) dan triwulan keempat 2007 (2,07%) .Inflasi bulan Maret biasanya tidak tinggi ( 2006 : 0,03 % dan 2007 : 0,24 ).Jadi Maret 2008 merupakan sinyal buruk yang harus diantisipasi secara benar dan sungguh-sungguh .
Sepintas tingkat inflasi 7-8 % memang satu digit ,, literatur ekonomi menyebut inflasi satu digit masih bisa satu digit. Selama 2002-2007 infalsi di negara-negara mitra dagang Indonesia seperti Jepang ( 0,05%) , Malaysia (2,33%) , Amerika Serikat (2,98%), Thailand (3,41%) dan Filiphina (5,42%) .Sementara di Indonesia jauh lebih tinggi ( 8,88%).Perbedaan yang sedemikian signifikan menunjukkan bahwa beban ekonomi masyarakat Indonesia jauh lebih berat daripada  inflasi di negara lain.
Bagi rakyat yang berpendapatan rendah yang sehari-hari memikirkan kebutuhan pokok .Biasanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok diatas inflasi .Pasalnya karena inflasi dihitung berdasarkan 283-399 jenis komoditas dari 744 jenis komoditas di 45 kota .Sedangkan  pokok masyarakat bawah hanya sejumlah kecil ( sembako) dari seluruh komoditas yang dipantau seperti beras dan minyak .
Apabila BPS mengumumkan inflasi bulanan , misalnya satu persen , harga sembako mungkin sudah naik 10-15 % .Berarti daya beli masyarakat bawah sudah turun 10-15 % .Sekiranya upah atau penghasilan mereka naik pun setingkat inflasi , misalkan satu persen , dengan kenaikan harga sembako 10-15 % berarti daya beli masyarakat bawah sudah berkurang 9-14 kali kenaikan upahnya.
Pada tataran yang lebih luas  , kenaikan inflasi membuat Bank Indonesia mempertahankan BI-rate pada level 8,00 % sejak 2007 lalu .Bahkan sebagian pengamat menilai untuk menekan inflasi seyogianya bunga SBI dinaikkan , sebab inflasi naik biasanya diikuti kenaikan suku bunga nominal supaya bunga rill tabungan tidak menjadi negatif .Jika bunga rill negatif , masyarakat enggan menabung.
Selanjutanya dunia usaha kesulitan mendapatkan modal investasi dan modal kerja .Perkembangan buruk yang akan menyebabkan kegiatan ekonomi lesu atau produksi berkurang.Artinya pendapatan masyarakat menurun .Penurunan aktivitas ekonomi yang demikian berarti mengancam target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah ( 6 ,4%) .Kondisi ekonomi Indonesia diharapkan pada kemungkinan buruk yang tidak dapat dibayangkan pada akhir tahun 2007 .Kenaikan harga pangan dan energi di pasar internasional telah membuat inflasi menajdi ancaman yang berbahaya .Kondisi semakin buruk karena penataan sektor mikro masih sangat amburadul . Oleh sebab itu , kondisi ekonomi makro yang lumayan menjadi buih alias bubble economy.
B.   KARAKTERISTIK  INFLASI DI INDONESIA
Tingkat inflasi merupakan variabel ekonomi makro paling penting dan paling ditakuti oleh para pelaku ekonomi termasuk Pemerintah, karena dapat membawa pengaruh buruk pada struktur biaya produksi dan tingkat kesejahteraan. Bahkan satu rezim kabinet pemerintahan dapat jatuh hanya karena tidak dapat menekan dan mengendalikan lonjakan tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang naik berpuluh kali lipat, seperti yang dialami oleh pemerintahan rezim Soekarno dan rezim Marcos, menjadi bukti nyata dari rawannya dampak negatif yang harus ditanggung para pengusaha dan masyarakat. 
          Dalam jangka pendek, tingkat inflasi di Indonesia dapat ditekan di bawah angka 10% setelah sebelumnya mengalami lonjakan yang terduga mencapai 18 persen pada akhir tahun 2005. Lonjakan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh dampak negatif dari pengaruh multiplier peningkatan harga minyak bumi dunia pada kisaran 60 sampai 70 dollar AS selama tahun 2005. Seperti kita alami tingginya harga minyak bumi dunia ini membawa implikasi dikeluarkannya kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri dan pengurangan subsidi Pemerintah untuk harga BBM tersebut.        
            Pada paruh pertama tahun 2006 ini, harga minyak bumi tersebut belum juga turun, sebagian dipengaruhi oleh ekskalasi ketegangan akibat serangan pasukan Israel ke wilayah Libanon Selatan. Penurunan tingkat inflasi pada pertengahan tahun 2006 membawa ruang gerak yang lebih leluasa bagi Bank Indonesia untuk segera menurunkan tingkat bunga BI Rate secara bertahap. Kecenderungan ini mendapatkan response dari kalangan dunia usaha dan masyarakat dengan meningkatnya tingkat kepercayaan konsumen pada bulan Agustus. 
 Perkembangan Inflasi 1970 – 2005 Gejolak dan perkembangan tingkat inflasi di Indonesia memiliki kecenderungan berikut ini :
  1. Dari kondisi tingkat inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) pada masa pemerintahan Orde Lama (kabinet Soekarno) maka praktis sejak tahun 1970 Indonesia mengalami tingkat inflasi yang sedang. Hyperinflation adalah tingkat inflasi melebihi 50 % per bulannya.
  2. Tingkat inflasi ini kemudian menunjukkan trend yang menurun selama periode 1970-71, yang sebagian besar didorong oleh program stabilisasi ekonomi yang dijalankan pemerintah pada era kabinet Soeharto.
  3. Tingkat inflasi ternyata masih naik kembali pada periode 1972-74, yang akhirnya mencapai 41% pada tahun 1974.
  4. Tingkat inflasi ini berhasil ditekan selama periode 1970-1992 mencapai tingkatan rata-rata 12,7% per tahunnya. Baru kemudian sejak tahun 1988, angka inflasi selalu dibawah 10% dihitung dengan metode indeks biaya hidup .
  5. Pada era pemerintahan sejak krisis perekonomian pada tahun 1998-99, laju inflasi masih bergejolak; tetapi dengan rentan fluktuasi batas satu digit ( dibawah tingkat 10%).
  6. Program pengendalian inflasi yang sukses setelah krisis ekonomi, masih bergejolak kembali pada pertengahan tahun 2005. Gejolak ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono dalam melepas program subsidi BBM dan menaikankan harga BBM di dalam negeri.
            Faktor-Faktor Pemicu Tingkat Inflasi Laju kenaikan tingkat inflasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagian ditentukan dari sudut pandang teori inflasi yang dianut. Pada kasus perekonomian di Indonesia paling tidak terdapat beberapa faktor yang baik secara langsung maupun secara psikologis dapat mendorong trend kenaikan tingkat inflasi. Faktor ekonomi dan non-ekonomi yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inflasi di negara kita antara lain dapat diidentifikasi berikut ini:
            (1) Adanya peningkatan jumlah uang beredar. Peningkatan jumlah uang beredar ini di Indonesia disebabkan antara lain oleh peristiwa:
  • Kenaikan harga migas di luar negeri
  • Meningkatnya bantuan luar negeri
  • Masuknya modal asing, khususnya investasi portfolio di pasar uang
  • Meningkatnya anggaran Pemerintah secara mencolok
  • Depresiasi nilai Rupiah dan gejolak mata uang konvertibel
(2) Adanya tekanan pada tingkat harga umum, yang dapat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian berikut ini :
  • Penurunan produksi pangan akibat musim kering yang berkepanjangan
  • Peningkatan harga komoditi umum secara mendadak
  • Pencabutan program subsidi BBM
  • Kenaikan harga BBM yang mencolok
  • Kenaikan tarif listrik
(3) Kebijakan Pemerintah dalam mendorong kegiatan ekspor non-migas; maupun kebijakan lainnya yang bersifat distortif seperti antara lain:
  • Lonjakan inflasi setelah dikeluarkannya kebijakan devaluasi
  • Kebijakan tata niaga yang menciptakan pasar yang oligopolistis dan monopolistis
  • Pungutan-pungutan yang dikenakan dalam perjalanan lalu lintas barang dan mobilitas tenaga kerja
  • Kebijakan peningkatan tingkat upah minimum regional
(4) Peningkatan pertumbuhan agregat demand yang dipicu oleh perubahan selera masyarakat, atau kebijakan pemberian bonus perusahaan dan faktor spekulatif lainnya:
  • Pemberian bonus THR mendekati jatuhnya Hari Raya.
  • Pemberian bonus prestasi perusahaan
  • Perkembangan pusat belanja yang ekspansif dengan mematikan fungsi keberadaan pasar tradisional di lokalitas tertentu.
          Pada masa lalu pencetus inflasi di Indonesia lebih dipengaruhi oleh inflasi yang berasal dari impor bahan baku dan penolong. Hal ini beralasan karena sebagian besar dari bahan baku tersebut masih diimpor dari luar negeri, akibat struktur industri yang sedikit mengandung local content.
          Dua faktor dapat berpengaruh atas kenaikkan harga di dalam negeri.
  1. Jika terjadi kelangkaan pasokan akibat gangguan logistik atau perubahan permintaaan dunia atas bahan baku tersebut di dunia.
  2.  Jika terjadi penurunan nilai rupiah kita terhadap mata uang asing utama seperti dollar Amerika Serikat.
Saat ini inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi oleh lonjakan harga minyak bumi di pasar internasional, yang dapat mendorong lebih lanjut biaya pengadaan sumber energi listrik dan bahan bakar untuk sebagian besar pabrik-pabrik pengolahan.
            Dimasa depan ancaman lonjakan harga minyak bumi masih akan mengancam inflasi di negara kita. Potensi kelangkaan bahan baku batubara dan gas akan juga terjadi dan mengakibat kan kenaikkan biaya energi.
            Disamping itu ancaman jangka menengah atas kemungkinan terjadinya inflasi di beberapa daerah di Indonesia adalah akibat adanya kelangkaan bahan makanan pokok masyarakat yang timbul akibat paceklik, hama penyakit, dan penurunan produktivitas padi, kedelai dan kacang-kacangan.
            Memang inflasi pada tingkat yang rendah merupakan perangsang bagi produsen untuk menambah kapasitas produksinya; tetapi jika terlalu tinggi akan memberikan dampak negatif atas meningkatnya ketidakpastian dan penurunan daya beli konsumen, sekaligus potensi penjualan perusahaan. 
C.    DAMPAK INFLASI TERHADAP KEGIATAN PEREKONOMIAN
Inflasi dapat mengakibatkan perekonomian tidak berkembang.Sehubungan dengan perekonomian , inflasi dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
v  Mendorong penanaman modal spekulatif
Inflasi mengakibatkan para pemilik modal cenderung melakukan spekulatif. Hal ini dilakukan dengan carai membeli rumah, tanah dan emas. Cara ini dirasa oleh mereka lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif.
v  Menyebabkan tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi
Untuk menghindari kemerosotan nilai uang atau modal yang mereka pinjamkan, lembaga keuangan akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Apabila tingkat inflasi tingg, maka tingkat suku bunga juga akan tinggi. Tingginya suku bunga akan mengurangi kegairahan penanaman modal untuk mengembangkan usaha-usaha produktif.
v  Menimbulkan ketidakpastian keadaan ekonomi di masa depan
Apabila gagal mengendalikan inflasi, akan berdampak terhadap ketidakpastian ekonomi. Selanjutnya arah perkembangan ekonomi sulit untuk diramal. Keadaan semacam ini akan mengurangi kegairahan pengusaha untuk mengembangkan kegiatan ekonomi.
v  Menimbulkan masalah neraca pembayaran.
Inflasi akan menyebabkan harga barabg-barang impor lebih murah daripada harga barang yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan impor berkembang lebih cepat daripada ekspor. Selain itu, arus modal ke luar ngeri akan lebih banyak disbanding yang masuk kedalam negeri. Keadaan ini akan menagibatkan terjadinya deficit neraca pembayaran dan kemerosotan nilai mata uang dalam negeri.
            Tetapi kadang kala inflasi tidak selamanya berpengaruh buruk pada perekonomian didalam suatu negara. Inflasi yang terkendali justru dapat meningkatkan kegiatan perekonomian. Berikut ini adalah akibat-akibat yang ditimbulkan Inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakt.
*      Dampak Inflasi terhadap Pendapatan
Inflasi dapat mengubah pendapatan masyarakat. Perubahan dapat bersifat menguntungkan atau merugikan. Pada beberapa kondisi (kondisi infasi lunak), inflasi dapat mendorong parkembangen ekonomi. Inflasi dapat mendorong para pengusaha memperluas produksinya. Dengan demikian, akan tumbuh kesempatan kerja baru sekaligus bertambahnya pendapatan seseorang. Namun, bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap Inflasi akan menyebabkm mereka rugi karena penghasilan yang tetap itu jika ditukarkan dengan barang dan jasa akan semakin sedikit. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut! Sebelum infiasi, orang yang menerima penghasilan Rp 100.000 dapat membeli 100 kg beras seharga Rp 1000,00 per kg. Karna inflasi, maka harga beras yang semula naik, menjadi Rp 1.250,00 per kg. Oleh karena nilai beli uang Rp 100.000,00 jika ditukarkan dengan beras kini hanya menjadi 80 kg. Dari ilustrasi tersebut, diketahui ada penurunan nilai tukar sebesar 20 kg (100 kg — 80 kg). Sebaliknya, orang yang berutang akan beruntung. Anggaplah seorang petani mempunyai utang Rp100.000,00. Sebelum Inflasi, petani itu harus menjual beras 100 kg untuk membayar utangnya. Tetapi setelah inflasi harga beras menjadi Rp 1.250,00 per kg, sehingga petani tersebut cukup menjual 80 kg untuk membayar utangnnya sebesar Rp 100.000,00.
*      Dampak Inflasi terhadap Ekspor
Pada keadaan Inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang. Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor makin mahal. Masi dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena daya saing barang ekspor berkurang, yang mengakibatkan jumlah  penjualan berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil.
*      Dampak Inflasi terhadap Minat Orang untuk Menabung
Pada masa inflasi, pendapatan rill para penabung berkurang karena jumlah bunga yang diterima pada kenyataannya berkurang karena laju Inflasi. Misalnya, bulan Januari tahun 2006 seseorang menyetor uangnya ke bank dalam bentuk deposit dalam satu tahun. Deposito tersebut menghasilkan bunga sebesar, misalnya, 15% per tahun. Apabila tingkat Inflasi sepanjang Januari 0006 — Januari 2007 cukup tinggi, katakanlah 11%, maka pendapatan dari uang yang didepositokan tinggal 4%. Minat orang untuk membung akan berkurang.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari mesin pencari google bahwa pemerintah tidak akan mengubah target pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini sebesar 5,5%. Penambahan belanja Kementerian/lembaga (K/L) diyakini tidak langsung meningkatkan pertumbuhan menjadi diatas 5,5%.
Kita lihat dulu apakah kita punya potensi untuk itu, namun kalau kita melihat situasi sekarang, sepertinya semester ini kita tidak akan menaikan pertumbuhan ekonomi, kata kepala Badan Kebijakan Fisikal Kementerian Keuangan (BKF) Anto Abimanyu seusai raktor membahas kerja sama Indonesia Australia di kantor kementrian koordinator perekonomian di Jakarta kemarin. Target pertumbuhan ekonomi 2010 yang dicanangkan pemerintah sebesar 5,5% kata Anggito, sudah dianggap maksimal. Alokasi belanja pemerintahpun lebih dilakukan untuk mestabilkan harga, sedangkan potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak terlalu signifikan menurut pengamatan Kanghari selama beberapa bulan.
Kuartal satu tahun lalu, siapa yang menyangka perumbuhan ekonomi diatas 5% dari perkiraan 4,8%, jadi untuk sekarang kita akan pantau lagi. Pada hari rabu tepatnya tanggal 3 maret 2010 kita akan membahas tentang pertumbuhan ekonomi, katanya. Senada dengan Anggito, menteri koordinator perekonomian Hatta Rajasa juga mengatakan bahwa satu tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap 5,5%. Target pertumbuhan ekonomi tersebut tidak di ubah menurut pengamatan Balai uji . Pada tahun ini kita akan mendorong pertumbuhan infrastruktur terlebih dahulu. Setelah itu baru bisa diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, tegasnya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia atau yang lebih akrab di sebut BI, Hartadi Sarwono mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi industri tahun ini memang akan berada di atas level 5%. Saya kira pemerintah dan ekonom akan berpendapat yang sama karena melihat perbaikan pada bulan pertama dan kedua, jadi bisa dikatakan optimisme pertumbuhan ekonomi 5,5%bisa dicapai, katanya. Pertumbuhan ekonomi 5,5% , kata dia, sangat bisa terealisasi, apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 lau yang lebih tinggi dari perkiraan pemerintah. Pertumbuhan tepatnya berapa kira-kira? Kita bisa menghitung agar lebih tahu berapa kira-kira persisnya berapa.
Ini kan baru kuartal pertama dan tantangannya sangat besar, menurut Balai uji . Berdasarkan data dari Bank Dunia, dalam economic Outlook 2010, prospek ekonomi Indonesia telah membaik dalam tiga bulan terakhir. Perekonomian Indonesia tumbuh 4,5% pada tahun 2009, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yaitu sebesar 4,3%. Pada tahun 2010 Bank Dunia bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 5,6% dan akan meningkat lagi menjadi 6% pada tahun 2011. Selain itu, ekonomi ditahun 2010, pun diperkirakan semakin meningkat jika masalah klasik seperti fasilitas dan infrastruktur yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat bisa diatasi pemerintah.
Bank Dunia memperkirakan tiap tahun Indonesia membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 6.000 triliun. Disisi lain, Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta semua pihak tetap waspada akan kemungkinan akan terjadi kembali depresi secara perekonomian dunia masih dalam kondisi yang labil. Indikator belum amannya pertumbuhan ekonomi dunia menurut Sri Mulyani antara lain ditunjukan oleh besarnya defisit negara-negara Eropa. Dan menurut pengamatan Balai uji , tingginya defisit itu memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan termasuk Indonesia.
DAMPAK INFLASI TERHADAP MATA UANG DUNIA
Biasanya Central Bank setiap negara mengeluarkan data suku bunga dan inflasi pada minggu pertama setiap bulan, yang pengaruhnya sangat besar bagi mata uang lainnya. Katakanlah Bank of England (BoE), Federal Reserve Districts (FED) oleh Amerika, Bank of Japan (BoJ), maupun Euro Central bank (ECB) misalnya. Data yang di keluarkan oleh selalu menjadi tolak ukur dalam menganalisa dan memprediksi harga hingga penutupan perdagangan di pasar global. Di samping itu, kebijakan moneter yang di ambil oleh pemimpin negara-negara adikuasa itu mampu menghempaskan maupun mendongkrak mata uang negara yang bersangkutan. Tentu saja juga akan menjungkir balikkan mata uang negara lain.
Salah satu data yang bisa di gunakan sebagai patokan dalam menganalisa harga adalah isu yg dilontarkan oleh pemerintah. Misalnya kemarin Steinbrueck (menteri keuangan jerman) mengeluarkan isu akan menaikkan suku bunga tepat sebelum dikeluarkannya data real oleh ECB, yang ternyata suku bunga tetap stagnant. Dampaknya? Euro tiba-tiba menguat tajam terhadap mata uang lain seperti Dollar Amerika, Poundsterling dan Yen. Harga Euro pada akhir perdagangan di tutup pada level harga tinggi, yaitu 1,3040, kurang 1 poin dari harga tertinggi 1,3041 dollar per Euro.
Setiap pelaku pasar ataupun investor yang akan melakukan transaksi, sangat di sarankan untuk meningkatkan kejelian dan kesabaran mereka dalam menganalisa market. Mereka sebaiknya senantiasa membuka pikiran dari kemungkinan yang terjadi dari setiap berita ekonomi maupun politik terutama dari negara adidaya. Kebijakan Amerika mengenai invasi ke Irak waktu lalu misalnya, berdampak rebound nya mata uang tersebut terhadap Euro, Sterling, Yen. Namun setelah adanya pernyataan dari pemerintah Amerika yang mendukung kebijakan otoritas moneter jepang untuk tidak melakukan intervensi dalam menanggulangi tekanan terhadap yen membuat dollar menguat terhadap Sterling maupun Yen.
Selain kebijakan dan isu politik maupun ekonomi, tingkat pengangguran (unemployment rate), jobless claim, non farm payroll, juga sangat mempengaruhi trend up-down nya mata uang. Misalnya jobless claim dan unemployment yang dikeluarkan oleh negara Uncle Sam kemarin mempengaruhi kenaikan dollar terhadap swiss, sterling dan yen. Biasanya data ini akan di umumkan setiap bulan oleh negara tersebut, yang tentunya berpengaruh dalam memprediksi harga bagi pelaku pasar. Demikian pula bila terjadi koreksi terhadap Dollar. Kemungkinan yang terjadi pada saat itu adalah munculnya isu moneter, kebijakan politik – ekonomi maupun pernyataan oleh kepala negara yang sangat berimbas bagi penguatan mata uang suatu negara melawan dollar, atau sebaliknya.
Tidak selamanya mata uang suatu negara akan menguat/melemah dalam jangka waktu yang lama. Ada saat – saat tertentu dimana mata uang, katakanlah dollar, bisa di spekulasi. Ibaratnya terjadi perdagangan yang fair bagi mata uang lain. Dollar, sebagai mata uang yang paling banyak di transaksikan di dunia, juga dapat melemah tergantung dari kepentingannya. Apabila jumlah ekspor lebih kecil dari impor pada negara Jepang misalnya, maka mereka akan mengeluarkan data yang mendukung kenaikan produksi ekspor ke negara tersebut. Data tersebut bisa membuat yen terkoreksi beberapa poin karena jumlah import dari negara Amerika membengkak, yang menyebabkan sejumlah Yen akan terkuras untuk membeli produksi dari Amerika. Biasanya pada hari berikutnya, Jepang melakukan revenge guna meredam lemahnya yen dengan cara juga mengeluarkan isu2 politik atau ekonomi tertentu.
Contoh lain yang bisa diprediksi adalah sentimen negatif pasar terhadap isu politik yang di lontarkan oleh George Bush Jr. mengenai Irak, atau pernyataan dari Presiden FED mengenai kenaikan interest rate. Pelaku pasar akan segera memanfaatkan momen tersebut untuk meningkatkan produksinya. Seiring dengan itu, jumlah produksi bertambah dan tenaga kerja yang digunakan dalam memproduksi juga akan semakin bertambah. Akibatnya ekspor bertambah dan jumlah pengangguran menurun, sehingga devisa yang masuk ke Negara tersebut semakin menguatkan dollar terhadap mata uang lain. Demikian pula sebaliknya, bila suku bunga menurun, produksi industri akan berkurang karena produsen akan membatasi kerugian. Apabila jumlah produksi berkurang, maka akan melemahkan mata uang tersebut. Demikian pula yang terjadi di Negara lain seperti Uni Eropa, Inggris, Jepang dan lainnya. Kebijakan politik dan ekonomi serta data-data yang mendukung lainnya seperti bertambahnya jumlah pengangguran atau naik turunnya suku bunga, akan sangat berpengaruh bagi Negara lainnya.
Indonesia sebagai negara berkembang, mungkin ada baiknya belajar dari negara adikuasa dalam menentukan kebijakannya. Perekonomian dan politik di Indonesia yang makin stabil menyebabkan sedikit menguatnya mata uang rupiah hingga awal tahun lalu. Serta perlu dipikirkan mengenai kebijakan ekonomi dalam negeri seperti penambahan produksi yang secara kebetulan akan mengurangi jumlah pengangguran. Rupiah kemungkinan akan terselamatkan dengan munculnya kebijakan – kebijakan baru oleh menteri keuangan maupun terbitnya data ekonomi lain dari Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia.
            Selain dari kebijakan maupun isu politik ekonomi setiap minggu, prediksi harga juga bisa dilakukan dengan memperhatikan gejala-gejala alam dan musim. Biasanya gejala ini mempengaruhi index saham ataupun harga minyak dunia. Misalnya Cuaca dingin yang menyelimuti Timur Laut AS mendorong harga minyak dari level terendah dalam 20 bulan terakhir di 49,90 dollar AS per barel yang dicatat pada 18 Januari lalu, diperkirakan akan terus berlangsung sampai paling tidak 21 Februari, menurut National Oceanic and Atmospheric Administration. Contoh paling konkrit yang bisa terlihat, misalnya di Indonesia. Banjir yang melanda pusat Indonesia, Jakarta, menyebabkan saham Telkom, PLN dan sejumlah bank Swasta ataupun instansi pemerintah lainnya anjlok akibat besarnya kerugian. Imbasnya? Harga IHSG juga menurun di bandingkan bulan lalu yang sempat menduduki peringkat ke 3 dunia, sebagai index saham yang paling banyak di minati di pasar global.
Penentuan menguatnya dollar, Euro serta melemahnya Poundsterling dan Yen, dan Rupiah akan di pertaruhkan pada hari ini. Hasil pertemuan G7 akhir minggu ini, serta data inflasi Eropa menjadi tolak ukur prediksi harga mata uang dunia malam ini. Semoga investor maupun pelaku pasar melakukan analisa yang lebih hati-hati lagi serta tindakan yang lebih bijaksana dalam melakukan transaksi guna mendapatkan profit yang besar pada perdagangan hari ini. “Choose a job you love and you will never have to work a day in your life“ Confucius (551-477 BC), Chinese philosopher.

D.    FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT UKM PRODUSEN EKSPORTIR DAN UKM INDIRECT EKSPORTIR DI SUBSEKTOR INDUSTRI KERAMIK DALAM MELAKUKAN EKSPOR
Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang tidak menentu mengakibatkan perusahaan-perusahaan besar mengalami kebangkrutan dan kehancuran. UKM PE dan UKM IE, justru dapat bertahan dan menghasilkan devisa. Disamping itu, sektor UKM melalui perannya mampu menjadi penggerak perekonomian daerah/lokal dalam penciptaan lapangan kerja dan lapangan usaha baru. Untuk itu, ada beberapa langkah yang kiranya yang perlu ditempuh pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan sektor riil pada UKM yang bergerak di industri kerajinan khususnya produk keramik, dan produk rotan adalah sebagai berikut :
       Ketersediaan bahan baku keramik (tanah liat), perlu diupayakan dari daerah lain yang masih memiliki sumber daya alam yang besar, sehingga harga bahan baku dapat diperoleh dengan mudah dan murah. Disamping itu, perlu diciptakan sistem distribusi bahan baku tanah liat yang efisien untuk menekan biaya bahan baku.
Menciptakan tingkat suku bunga komersial yang dapat dijangkau UKM untuk kepentingan pembiayaan dalam waktu yang singkat untuk memenuhi order dan realisasi kebijakan kredit ekspor dan kredit murah baik itu komersial maupun dari pemerintah secepatnya dilakukan dengan mekanisme yang lebih sederhana dan sasaran yang luas dan tepat, khususnya untuk pengembangan UKM yang berada di daerah masing-masing.
Pergeseran komposisi produksi nasional tersebut ditandai dengan penurunan secara drastis hingga terhentinya kegiatan produksi barang dan jasa yang banyak menggunakan bahan baku/bahan penolong/suku cadang asal impor. Padahal industri semacam ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia selama ini. Sebagian besar komoditi ekspor andalan seperti Tekstil dan Produk Tekstil, Elektronik, dan Alas Kaki yang sangat tergantung pada bahan baku/bahan penolong asal impor dan merupakan lapangan kerja yang selama ini diandalkan untuk menekan tingkat pengangguran. Kegiatan angkutan darat, laut dan udara yang merupakan tulang punggung sistem distribusi juga sangat tergantung pada suku cadang asal impor, sehingga kelangsungan penyediaan jasanya sangat terpukul oleh anjloknya nilai tukar rupiah terhadap US$. Secara keseluruhan hal ini telah mengakibatkan pengurangan suplai barang dan jasa yang menyeluruh (pergeseran agregat suplai ke arah kiri atas), yang menimbulkan tekanan inflasi (cost push inflation) dan pemutusan hubungan tenaga kerja yang meluas sebagai akibat penurunan produksi nasional.
Aspek kedua yang menunjukkan adanya tekanan perubahan komposisi produk nasional adalah (i) meningkatnya volume ekspor hasil pertanian (terutama hasil perkebunan dan perikanan), hasil hutan dan hasil tambang yang didorong oleh meningkatnya permintaan luar negeri karena penurunan harga relatifnya dan (ii) meningkatnya kebutuhan dalam negeri terhadap produk dalam negeri untuk menggantikan barang-barang impor yang harganya melonjak tajam. Meskipun kemampuan UKM (khususnya yang berorientasi ekspor atau substitusi impor) bertahan dalam masa krisis dan menjadi sumber perolehan devisa telah dibuktikan oleh beberapa studi (penelitian), tetapi dalam kenyataannya baik UKM Produsen Eksportir (PE) maupun UKM Indirect Eksportir (IE) masih menghadapi sejumlah kendala dalam melakukan ekspor. Kendala yang dihadapi dapat bersumber dari faktor internal UKM, maupun dari faktor eksternal, termasuk kebijakan pemerintah (government policy). 
Berdasarkan paparan di atas, maka ada tiga permasalahan dapat dijabarkan sebagai berikut: (i) bagaimana gambaran dari kegiatan ekspor yang dilaksanakan oleh UKM PE dan UKM IE, (ii) aspek-aspek apa saja yang terkandung dalam gambaran kegiatan tersebut, misalnya komoditi yang dominan, negara tujuan ekspor, sistem pembayaran yang diterima dan lain sebagainya, dan (iii) faktor-faktor apa saja yang menjadi permasalahan bagi UKM PE dan UKM IE dalam melakukan kegiatan ekspor.
Secara umum, faktor-faktor penghambat bagi UKM PE dan UKM IE dalam melakukan ekspor pada saat krisis dipengaruhi oleh faktor internal antara lain : (i) manajemen, (ii) kurangnya likuiditas (tambahan modal), dan (iii) naiknya upah dan faktor eksternal yaitu : (i) melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya suku bunga perbankan yang mengakibatkan kenaikan biaya modal dan ketatnya likuiditas ekonomi, (iii) kurangnya akses informasi pasar di dalam dan luar negeri yang diberikan oleh pemerintah, (iv) turunnya daya beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan riil masyarakat, (v) kenaikan harga-harga bahan baku, (vi) menurunnya permintaan pasar, (vii) kurangnya dukungan kebijakan pemerintah terhadap UKM yang berorientasi ekspor, (viii) tingginya pungutan, dan (ix) rendahnya koordinasi antar departemen yang terkait terhadap UKM-UKM yang melakukan ekspor.
Berkaitan dengan faktor-faktor yang menghambat kinerja ekspor UKM PE dan UKM IE, studi ini mencoba memfokuskan pada identifikasi permasalahan yang dihadapi UKM dalam melakukan ekspor, khususnya di subsektor industri Aneka Kerajinan (handicraft) pada industri keramik. Secara sederhana dapat digambarkan pada diagram sebab akibat yang sering disebut diagram tulang ikan (fishbone diagram).
Berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa kinerja ekspor pada UKM PE dan UKM IE dipengaruhi oleh dua faktor penghambat yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang cukup mempengaruhi kinerja ekspor UKM antara lain: (i) manajemen yang bersifat tradisional atau manajemen keluarga, (ii) likuiditas atau modal kerja yang cenderung menurun akibat krisis ekonomi, dan (iii) upah tenaga kerja yang didominasi adanya kenaikan inflasi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, faktor eksternal yang sangat mempengaruhi kinerja ekspor UKM adalah: (i) kenaikan suku bunga perbankan yang cukup tinggi mengakibatkan kelangkaan modal tambahan untuk memproduksi barang, (ii) kenaikan harga baku lebih dipengaruhi adanya sebagian bahan baku terutama dalam finishing masih diimpor, (iii) kurangnya informasi pasar baik itu negara-negara yang menjadi orientasi pasar produk UKM maupun disain produk yang belum mengikuti keinginan pasar (up to date), dan (iv) kurangnya dukungan Pemda dan rendahnya koordinasi antar instansi terkait dalam melakukan pembinaan UKM setempat.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran







Oval: Kinerja
Ekspor

 












Seperti yang telah dikemukakan di atas, semakin tinggi atau semakin besar hambatan-hambatan yang dihadapi UKM PE dan UKM IE akan semakin rendah produk yang dihasilkan baik dalam kuantitas maupun dalam kualitasnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekspor yang berasal dari UKM.
            Naiknya biaya produksi lebih dipengaruhi posisi supplier yang begitu kuat untuk menekan harga. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah produk yang dihasilkan rata-rata bertujuan ekspor. Faktor lainnya yang terjadi di industri keramik adalah bahan baku (tanah liat) yang digunakan lebih banyak menggunakan tanah liat dari Godean yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan Kasongan. Disamping itu, ketersedian bahan baku di wilayah Kabupaten Bantul semakin terbatas. Naiknya upah tenaga kerja dan bahan penolong pada saat krisis turut mempengaruhi biaya produksi.
            Selama krisis, hasil penjualan yang diperoleh UKM IE di sentra industri Kasongan berbentuk mata uang rupiah. Kondisi ini, hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha asing yang datang langsung ke lokasi dalam melakukan transaksi. Penerimaan dalam mata uang rupiah terkait pada keuntungan atau laba kotor yang diperoleh UKM IE lebih kecil dibandingkan penerimaan dalam bentuk mata uang asing (dollar AS).
       Sumber pembiayaan yang dilakukan oleh UKM PE dan IE lebih banyak diperoleh dari pembiayaan sendiri dan down payment pemberi order. Sedangkan penggunaan jasa perbankan hanya untuk transaksi jasa ekspor untuk pembayaran barang yang telah dikirim melalui LC. Rendahnya penggunaan jasa perbankan sebagai sumber pembiayaan atau permodalan, disebabkan beratnya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi UKM, prosedur pinjaman kredit yang cukup lama dan tingginya suku bunga yang diterapkan. Disamping itu, pembiayaan melalui kredit ekspor dan kredit murah yang diberikan pemerintah masih sulit diperoleh UKM PE dan IE.
       Manajemen yang diterapkan UKM IE masih banyak yang bersifat tradisional. Hal ini sangat mempengaruhi pengelolaan dan perkembangan UKM IE cukup lambat, baik dalam pembuatan disain produk maupun orientasi penjualan yang hampir sama dari tahun ke tahun. Dari delapan responden yang diwawancarai hanya dua UKM IE yang telah berubah menjadi manajemen profesional. Disamping itu, pemerintah daerah melalui Kantor Dinas koperasi dan Depperindag sebagai pembina UKM setempat belum dapat membantu manajemen UKM IE untuk lebih maju dalam kompetisi pasar.

E.     DAMPAK DARI LIBERALISASI PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA-CHINA TERHADAP PRODUKSI DAN EKSPOR PERTANIAN DI INDONESIA: SUATU PENELITIAN DENGAN PENDEKATAN SIMULASI
Pertanian merupakan suatu sektor yang sangat sensitif dan sangat mudah terpengaruh oleh banyak faktor, tidak hanya faktor alam seperti cuaca dan kesuburan lahan, tetapi juga kebijakan-kebijakan ekonomi atau perdagangan, terutama liberalisasi perdagangan dunia/regional untuk komoditas-komoditas pertanian Pertanian juga merupakan sektor kunci bagi banyak penelitian mengenai kemiskinan di negara-negara terbelakang atau negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Di Indonesia, seperti di banyak NSB lainnya, walaupun urbanisasi dan industrialisasi sudah berlangsung lama dan prosesnya semakin pesat, sebagian besar penduduk masih berada di perdesaan. Bahkan sebagian besar penduduk miskin di Indonesia tinggal di perdesaan, dan sebagian besar dari mereka bekerja di pertanian. Makanan merupakan komponen pengeluaran terbesar dari keluarga-keluarga miskin. Oleh sebab itu, secara teori, kesepakatan liberalisasi perdagangan untuk komoditas-komoditas pertanian antara China dan Indonesia atau ASEAN yang dikenal dengan sebutan Area Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-China pasti akan membawa sebuah dampak signifikan tidak hanya pada pertanian tetapi juga terhadap kemiskinan di Indonesia. Dampak tersebut bisa positif tetapi bisa juga negatif, tergantung pada kondisi atau kesiapan sektor pertanian menghadapi perubahan pasar akibat kebijakan liberalisasi tersebut. Dampak positif adalah dalam bentuk peningkatan ekspor pertanian Indonesia ke China dan negara-negara ASEAN lainnya, dan berarti juga peningkatan produksi dan kesempatan kerja di sektor pertanian di Indonesia. Sedangkan, dampak negatif adalah kebalikannya.
ASEAN-China FTA untuk pertanian tersebut dilakukan dalam suatu program yang disebut Program Panen Awal (EHP). Di dalam program ini, produk-produk pertanian, termasuk ternak/binatang hidup, daging, ikan-ikanan, sayur-sayuran, buah-buahan dan banyak lainnya lagi[1]sekarang menikmati tarif impor nol persen. Sebagai suatu aturan umum, untuk menikmati tarif atau bea masuk nol persen, produk-produk pertanian harus berasal dari Indonesia, China, dan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Untuk diklasifikasikan sebagai produk asal suatu negara, paling tidak 40 persen dari kandungan lokal dari suatu produk harus berasal dari ASEAN dan China.
Mungkin liberalisasi perdagangan mobil, misalnya, tidak perlu terlalu dikuatirkan karena dampaknya mungkin terbatas, terutama terhadap kesempatan kerja dan kemiskinan. Namun, tidak demikian dengan pertanian. Seperti telah dijelaskan di atas, karena sebagian besar penduduk miskin di Indonesia tinggal di perdesaan dan sebagian besar dari mereka bekerja langsung maupun tidak langsung di sektor tersebut, maka jelas apabila kesepakatan ASEAN-China tersebut merugikan Indonesia dalam arti produk-produk pertanian Indonesia kalah bersaing dengan produk-produk serupa dari China atau negara-negara ASEAN lainnya, dampaknya terhadap peningkatan kemiskinan akan besar. Alasan di atas ini yang menjadi motivasi dari studi ini.
Sejak pertengahan tahun 1990s sudah banyak penelitian atau simulasi yang dilakukan untuk mengestimasi dampak-dampak dari liberalisasi perdagangan dunia atau regional dalam komoditas-komoditas pertanian terhadap ekonomi Indonesia.. Penelitian-penelitian tersebut termasuk antara lain Feridhanusetyawan, dkk. (2000), Feridhanusetyawan dan Pangestu (2002), Erwidodo (1998), Pambudi dan Chandra (2006), Hutabarat, dkk.. (2007), dan Octaviani dkk. (2008). Studi pertama tersebut (Feridhanusetyawan, et al,2000) mengestimasi dampak dari Putaran Uruguay, dan kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan di dalam konteks-konteks APEC dan AFTA terhadap ekonomi-ekonomi di wilayah Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, dengan memakai sebuah model ekonomi kuantitatif. Tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk mengukur besarnya potensi keuntungan-keuntungan atau kerugian-kerugian, dan memprediksi pola-pola perdagangan yang sedang berubah dan realokasi sumber-sumber daya sebagai suatu hasil dari skim-skim liberalisasi perdagangan tersebut. Studi tersebut membandingkan dampak dari setiap skenario terhadap tingkat kesejahteraan, output, dan alokasi sumber-sumber produksi di dalam perekonomian Indonesia, dengan menggunakan sebuah model penghitungan keseimbangan umum global (CGE) yang dikenal dengan GTAP (versi 3)
Studi tersebut mempertimbangkan lima (5) skenario untuk mengestimasi efek-efek dari kesepakatan-kesepakatan Putaran Uruguay, AFTA and APEC ditambah dua lagi dengan reformasi pertanian yang lebih luas. Skenario pertama mensimulasi suatu rejim perdagangan internasional yang mana Putaran Uruguay adalah satu-satunya kekuatan yang ada dari liberalisasi. Skenario ini berperan sebagai suatu tolak ukur bagi hasil-hasil dari simulasi-simulasi lainnya. Skenario kedua dan skenario ketiga mensimulasi dampak tambahan dari pemberlakuan AFTA, selain dampak dari Putaran Uruguay, terhadap ekonomi-ekonomi ASEAN. AFTA hanya berurusan dengan pengurangan-pengurangan tarif-tarif impor, yang diterapkan hanya pada perdagangan antar negara-negara anggota ASEAN. Jadwal menuntaskan penurunan-penurunan tarif adalah pada tahun 2003 yang lebih cepat daripada jadwal APEC pada tahun 2010 untuk negara-negara maju dan 2020 untuk negara-negara berkembang. Dalam skenario AFTA ini, tarif-tarif perbatasan antar ekonomi-ekonomi anggota ASEAN telah dikurangi ke nol per sen sementara tarif-tarif antara kelompok ASEAN dan negara-negara non-ASEAN tetap dipertahankan pada tingkat tertentu sesuai kesepakatan dari Putaran Uruguay. Skenario keempat dan skenario kelima adalah sebuah kombinasi dari liberalisasi perdagangan dari Putaran Uruguay dan liberalisasi perdagangan dari APEC (dari tarif-tarif nol persen pada tahun 2010 dan 2020, dengan asumsi tambahan bahwa negara-negara berkembang di dalam kelompok APEC punya tarif-tarif hanya 5 persen pada tahun 2010). Sama seperti skenario kedua dan skenario ketiga, di dalam skenario keempat sektor-sektor pertanian di negara-negara APEC tidak diliberalisasikan, sedangkan di dalam skenario kelima, pertanian masuk di dalam daftar sektor-sektor yang diliberalisasikan.
Hasil-hasilnya, dalam cara-cara tertentu, menegaskan penemuan-penemuan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain oleh Anderson dkk. (1997) terhadap liberalisasi perdagangan luar negeri di wilayah Asia Pasifik. Poin umum di sini adalah bahwa semakin dalam pemotongan tarif pajak dan semakin banyak produk dan negara yang tercakup di dalam liberalisasi perdagangan, semakin besar keuntungan-keuntungan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Kenaikan kesejahteraan ini adalah hasil dari alokasi sumber-sumber daya yang lebih efisien, dalam arti berpindah dari sektor-sektor non-produktif ke sektor-sektor yang lebih produktif. Diantara komitmen-komitmen liberalisasi perdagangan yang ada di wilayah Asia Pasifik, implementasi dari dua komitmen terbesar, yaitu Putaran Uruguay dan APEC, akan menguntungkan Indonesia. AFTA, di sisi lain, diharapkan dapat menyumbang sedikit terhadap keuntungan kesejahteraan untuk Indonesia. Penjelasannya adalah bahwa AFTA menciptakan sebuah blok perdagangan diskriminatif di dalam ASEAN, dimana pergeseran perdagangan yang mungkin bisa terjadi akibat liberalisasi perdagangan akan dikompensasi oleh penciptaan perdagangan antara negara anggota atau perluasan perdagangan yang sudah ada sebelum penghapusan/penurunan tarif impor antar mereka. Liberalisasi perdagangan untuk komoditas-komoditas pertanian lewat APEC diharapkan akan menciptakan suatu keuntungan kesejahteraan tambahan untuk sebagian besar ekonomi-ekonomi di wilayah tersebut, walaupun besaran dari tambahan keuntungan itu cenderung kecil dan bervariasi antar ekonomi. Dampaknya terhadap Indonesia kecil terkecuali di bawah AFTA, dimana Indonesia dapat akses istimewa ke pasar-pasar ASEAN lainnya.
Di dalam sektor pertanian, sumber-sumber daya cenderung bergerak dari padi ke tumbuh-tumbuhan biji-bijian lainnya dan binatanStudi dari Erwidodo (1998) menganalisis dampak dari berbagai opsi kebijakan perdagangan terhadap kinerja sektor makanan dan pendapatan petani di Indonesia dengan memakai sebuah modal yang disebut Alat Analisis Multilevel Untuk Kebijakan Pertanian (atau model MATA), yakni sebuah model dinamis menggunakan penyusunan matematis non-linier. Penemuan-penemuannya menunjukkan bahwa pada tingkat agregat, liberalisasi pasar pertanian tidak akan mempunyai suatu efek yang signifikan terhadap produksi padi, yang menandakan rendahnya substitusi antara padi dan tanaman-tanaman lainnya dan tingginya keunggulan kompetitif dari padi di dalam sistem pertanian lahan rendah di Jawa. Berbeda dengan ini, dampak dari liberalisasi pasar domestik terhadap produksi kedelai sangat besar. Liberalisasi perdagangan kedelai tersebut kelihatannya tidak sejalan dengan tujuan dari kebijakan yang berlaku yakni swasembada dalam produksi kedelai.
 Penemuan-penemuan tersebut memberi kesan bahwa jagung lebih kompetitif daripada kedelai. Penemuan-penemuan itu juga memberi kesan bahwa liberalisasi pasar domestik atau perdagangan punya suatu efek negatif terhadap pendapatan di sektor pertanian pada tingkat petani, terutama dalam kasus dari petani-petani kecil. Penurunannya atau efek negatifnya berkurang jika padi tidak termasuk di dalam produk-produk pertanian yang diliberalisasikan. Studi ini juga menjelaskan pentingnya inovasi teknis/teknologi untuk menahan atau menghilangkan efek-efek negatif dari liberalisasi perdagangan dan untuk mempertahankan pendapatan-pendapatan di perdesaan selama proses liberalisasi perdagangan. Studi ini juga menegaskan bahwa upaya-upaya untuk meningkatkan kesempatan kerja di luar sektor pertanian, seperti usaha kecil dan menengah, juga sangat penting untuk mengkompensasi penurunan pendapatan petani dari pemberlakuan liberalsasi pasar di dalam negeri. Ini terutama sangat penting di wilayah-wilayah berpendudukan padat di mana lahan untuk bertani sangat terbatasg hidup.
Octaviani dkk. (2008) menganalisis: (a) dampak dari liberalisasi perdagangan ASEAN terhadap variabel-variabel makro ekonomi seperti PDB, dasar nilai tukar (terms of trade/ ToT), neraca perdagangan, inflasi dan upah riil, dan industri-industri pertanian (output, ekspor dan impor) di enam (6) negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Viet Nam); dan (b) dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap distribusi pendapatan di Indonesia. Studi tersebut juga menggunakan model GTAP sebagai alat utama dari analisis.  Untuk menganalisis dampak secara rinci terhadap sektor pertanian dan distribusi pendapatan di Indonesia, di dalam penelitian tersebut model GTAP dihubungkan dengan model keseimbangan umum Indonesiais. Untuk menganalisis dampak dari liberalisasi perdagangan oleh sekelompok negara, semua intervensi-intervensi kebijakan yang relevan (seperti pajak ekspor, subsidi ekspor, pajak impor atau subsidi impor) di setiap negara telah dihilangkan di dalam model GTAP yang digunakan. 
Penelitian Octaviani dkk. itu mempertimbangkan tiga (3) skenario dari liberalisasi perdagangan di ASEAN: tarif-tarif nol persen yang diberlakukan untuk semua produk pertanian di ke enam negara ASEAN tersebut (skenario1); liberalisasi perdagangan untuk semua komoditas pertanian terkecuali produk-produk yang masuk kategori sensitif dan sangat sensitif (skenario 2); dan liberalisasi perdagangan seperti dalam skenario 1  ditambah dengan fasilitas perdagangan lewat suatu kenaikkan 10 persen di sektor-sektor bisnis dan keuangan (skenario 3).
Hasil-hasil simulasi menunjukkan efek-efek positif untuk skenario 1 dan skenario 2 di semua negara-negara ASEAN terkecuali untuk PDB riil Indonesia. Neraca perdagangan, nominal PDB dan ToT Indonesia mengalami efek-efek positif sedangkan PDB riil Indonesia tidak mengalami perubahan (hampir nol persen). Secara umum, dari ke 6 negara ASEAN tersebut, Indonesia mengalami perbaikan terkecil di dalam kesejahteraan. Untuk skenario 3, ke enam negara ASEAN itu akan mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama Singapura. Dampak dari liberalisasi perdagangan pertanian di ASEAN akan meningkatkan output untuk negara-negara anggota ASEAN secara keseluruhan. Namun demikian, skenario 3 ditemukan akan memperburuk neraca perdagangan di sebagian besar negara-negara ASEAN. Ketika tarif-tarif nol persen diterapkan terhadap pertanian di semua negara ASEAN, Indonesia mengalami hampir nol persen perubahan dalam pendapatan riil. Sebaliknya, jika tarif-tarif nol persen diterapkan bersama-sama dengan perbaikan dalam fasilitas perdagangan, dampaknya terhadap pendapatan baik dalam nilai nominal maupun riil menjadi positif untuk setiap kategori rumah tangga.  Kesejahteraan dari hampir semua kategori rumah tangga naik sedikit karena liberalisasi perdagangan pertanian di ASEAN di dalam semua simulasi, dengan kenaikan terkecil (hampir nol persen perubahan) terjadi di skenario 1.
Berdasarkan hasil-hasil simulasinya yang dibahas secara singkat di atas tersebut, penelitian mereka menyimpulkan bahwa melindungi beberapa produk yang masuk di dalam kategori sensitif dan sangat sensitif dari liberalisasi masih tetap perlu untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, terutama diantara kategori-kategori rumah tangga pertanian.
Gambar 1: Perkembangan Ekspor Pertanian Jangka Panjang: Indonesia (Xind) dan
     China  (Xc)(juta dollar AS pada harga pasar yang berlaku).
 





      Dalam beberapa tahun belakangan ini posisi Indonesia dalam perdagangan pertanian dunia semakin tergeser oleh China. Pergeseran tersebut tidak hanya disebabkan oleh menurunnya daya saing komoditas pertanian Indonesia relatif dibandingkan dengan China, tetapi juga oleh keterbatasan kapasitas produksi pertanian di dalam negeri. Bahkan dipercaya bahwa untuk sejumlah komoditas pertanian selain padi, Indonesia hingga saat ini masih menghadapi banyak kendala dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Misalnya untuk buah-buahan dan sayur-sayuran, data yang ada untuk periode akhir dekade 70-an hingga tahun-tahun awal abad ke 21 menunjukkan bahwa produksi di Indonesia jauh lebih rendah daripada di China. bahkan perbedaannya sangat besar  . Tidak heran, kontribusi China terhadap produksi dunia untuk kedua jenis komoditas tersebut jauh lebih besar daripada kontribusi Indonesia. Bahkan pertumbuhan pangsa dunia China menunjukkan suatu tren yang meningkat terus, sedangkan dari Indonesia setiap tahun  tidak ada perubahan.
Neraca Perdagangan dalam Pertanian: Indonesia dan China (Nilai Net dalam Juta
dollar AS pada harga pasar yang berlaku), 1980-2004
Pangsa Dunia Indonesia dan China untuk Buah-buahan dan Sayur-sayuran (%)
Memang sangat ironis, Indonesia adalah sebuah negara agraris yang besar yang memiliki potensi yang besar sebagai negara eksportir pertanian, namun, kenyataannya, Indonesia bukan pemain utama di pasar dunia untuk pertanian. Bahkan untuk sejumlah komoditas, seperti beras, tebu/gula dan berbagai macam buah-buahan dan sayur-sayuran, Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor. Tiga gambar berikut menunjukkan perkembangan saldo ekspor-impor (ekspor net) pertanian Indonesia selama periode 1961-2003. Ketergantungan Indonesia yang semakin tinggi terhadap impor pertanian memberi suatu indikasi kuat bahwa revolusi hijau di tahun 70an yang sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan diversifikasi produksi pertanian tidak hanya gagal memasukkan Indonesia kedalam kelompok negara-negara eksportir pertanian besar di dunia tetapi juga tidak berhasil membuat sebagai suatu negara yang selamanya swasembada dalam produk-produk pertanian.
Impor dan ekspor semua produk pertanian (nilai atas kuantitas tahun dasar; 1000US$)






  Sumber: FAO database
Impor dan ekspor semua produk pertanian (nilai atas harga tahun dasar; 1000US$)


 



                        



  Sumber: FAO database
Indeks dari nilai impor dan ekspor semua produk pertanian.






                                                                                                                                                                 
Selain produksi dan ekspor meningkat, juga umum diasumsikan bahwa modernisasi pertanian akan menghasilkan peningkatan kualitas dari produk-produk pertanian. Salah satu indikator yang umum digunakan dalam mengkaji tingkat daya saing global dari suatu produk adalah Keunggulan Komparatif yang Kelihatan, atau umum disebut Revealed Competitive Advantage (RCA). Indeks ini untuk sebuah produk menunjukkan kemampuan negara bersangkutan untuk meningkatkan pangsanya di pasar internasional. Nilai RCA lebih besar dari satu (1) menandakan bahwa negara tersebut memiliki suatu keunggulan komparatif dalam membuat produk bersangkutan di dalam pasar global. Sebaliknya, nilainya lebih kecil dari satu menandakan kebalikannya.
Memperkirakan kemungkinan dampak dari China-AFTA terhadap ekspor, impor dan produksi domestik komoditas-komoditas pertanian dapat diestimasi dengan suatu pendekatan simulasi. Untuk maksud tersebut, penelitian ini memakai dua alat, diantaranya adalah Simulasi Kebijakan Perdagangan Pertanian (ATPSM) versi 3.1 (2006) yang didisain oleh UNCTAD.[2]Ini adalah suatu model simulasi kebijakan perdagangan yang bisa membuat suatu analisis secara terperinci mengenai isu-isu terkait dengan kebijakan perdagangan pertanian. Model ini mencakup 176 negara dan 36 kelompok komoditas termasuk buah-buahan, sayur-sayuran, minuman, minyak dari tumbuh-timbuhan, produk-produk dari susu, dan daging. Untuk harga-harga, model ini memakai beberapa sumber (yakni IFS, FAO Trade Yearbook dan statistic harga dari UNCTAD), yang mencakup periode dari 1999 hingga tahun 2001. Volume-volume dari perdagangan dan produksi didapat dari catatan mengenai suplai dari FAO. Konsumsi didapat dengan cara menjumlahkan impor dan produksi dan dikurangi ekspor, disebut konsumsi yang sebenarnya. Konsep ini tidak memperhitungkan penambahan dan pengurangan stok. Kadang-kadang, karena tidak cocoknya penghitungan antara produksi dan perdagangan, angka konsumsi yang sebenarnya bisa negatif. Dalam suatu kasus seperti itu, produksi meningkat untuk menjamin konsumsi tidak sampai negatif. Karena spesifikasi komoditas di dalam catatan pemanfaatan suplai lebih terinci daripada yang digunakan di dalam ATPSM, volume-volume di agregasikan untuk mendapatkan faktor-faktor konversi yang tepat. Tahun terakhir adalah 2001. Untuk menstabilkan data untuk variasi-variasi tahunan dalam penghasilan, suatu rata-rata tiga tahun dari volume-volume dari 1999 hingga 2001 diestimasi.
Semua hambatan-hambatan impor (tingkat-tingkat tarif diluar-kuota dan di dalam-kuota dan tingkat tarif kuota) didapat dengan menggunakan informasi dari Agricultural Market Access Database (AMAD). AMAD bisa diakses dari www.amad.org. Database ini ditangani oleh OECD dan sejumlah organisasi, termasuk FAO, UNCTAD, Departemen Pertanian AS, Departemen Pertanian Kanada, dan Direktorat Pertanian Uni Eropa (UE) turut berperan dalam mengurus AMAD. Kebanyakan data dari AMAD datang dari rencana-rencana kerja dan pemberitahuan-pemberitahuan dari WTO. Namun demikian, tingkat-tingkat tarif yang diterapkan dalam perdagangan didapat dari UNCTAD TRAINS database. Data mengenai subsidi-subsidi ekspor dan kuota-kuota didasarkan pada pemberitahuan-pemberitahuan pemerintah dari negara-negara anggota WTO kepada WTO. Data tersebut bisa ditemukan dalam www.atpsm.mdb sub-file 'xshedul'.
ATPSM adalah sebuah model deterministik, komparatif statis, dan keseimbangan parsial. Ini artinya tidak ada goncangan-goncangan stokastik atau ketidakpastian-ketidakpastian lainnya, dan tidak ada dimensi waktu spesifik terhadap implementasi dari tindakan-tindakan kebijakan atau batas waktu dari efek-efek ekonomi akibat suatu perubahan kebijakan. Sifat komparatif statis dari model ini tidak berarti bahwa kebijakan-kebijakan memberi efek seketika. Model ini membandingkan dua keadaan pada suatu titik waktu yang sama, satu dengan perubahan kebijakan, yang satu lagi tanpa perubahan kebijakan. Terakhir, mengingat bahwa tujuannya adalah mengestimasi ekonomi pertanian yang sangat terinci, model ini tidak berurusan dengan akibat-akibat dari penuruan/penghapusan dari hambatan-hambatan perdagangan terhadap bagian-bagian lain dari ekonomi nasional.
Model ini menganalisis efek-efek dari perubahan-perubahan dari kebijakan perdagangan dan harga terhadap penawaran dan permintaan dengan memakai suatu sistem dari persamaan-persamaan simultan yang dikarakteristikan dengan sjumlah relasi-relasi data dan perilaku yang dirancang untuk mensimulasi dunia riil. Solusi model ini memberi estimasi-estimasi dari perubahan-perubahan dalam volume-volume perdagangan, harga-harga dan indikator-indikator kesejahteraan yang berasosiasi dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan kebijakan perdagangan. Satu keistimewaan dari model ini adalah penanganannya terhadap sebuah struktur tarif lapis dua di mana import di dalam suatu tingkat kuota menarik suatu tarif yang relatif lebih rendah, dan impor melewati kuota menghadapi tarif-tarif lebih tinggi. Sewa-sewa yang terkait dengan kuota-kuota ini dimodelin secara eksplisit di dalam ATPSM.
Sistem persamaan standar untuk semua negara punya empat persamaan:
                                                         (1)                                                                                                                                                                                                                                                                                             
 
                                                                                                        
di mana, D, S, X, dan M menandakan, masing-masing, permintaan, penawaran, ekspor dan impor, Pw menandakan harga dunia; tc adalah tarif terhadap barang-barang konsumsi domestik dan tp adalah tarif terhadap barang-barang produksi dalam negeri; ε adalah elastisitas penawaran dan η elastisitas permintaan elasticity; ^ menandakan perubahan-perubahan relatif dan ∆ perubahan-perubahan absolut; i dan j adalah indeks-indeks komoditas; dan r adalah sebuah indeks negara.
Persamaan 3 mengharuskan bahwa perubahan ekspor di setiap pasar adalah sebuah bagian dari perubahan produksi. Bagian ini ditentukan dengan rasio dari ekspor terhadap produksi. Misalnya, jika semua produksi awal diekspor, semua perubahan produksi diekspor. Jika setengah dari produksi awal diekspor, setengah dari perubahan produksi diekspor. Ini artinya bahwa rasio ekspor terhadap produksi tetap tidak berubah. Persamaan 4 membuat keseimbangan pasar, sehingga produksi domestik ditambah dengan impor sama dengan konsumsi dalam negeri ditambah dengan ekspor.
Suatu pasar dalam kondisi seimbang mengharuskan bahwa, secara global, jumlah perubahan ekspor sama dengan jumlah perubahan  impor untuk setiap komoditas:
                                                                                                                                         
Di model ini, persamaan-persamaan tersebut di transformasikan kedalam angka-angka matriks dan sistem persamaan tersebut dipecahkan untuk harga-harga dunia dengan pembalikan matriks. Prinsip dari ATPSM adalah perubahan-perubahan kebijakan perdagangan membuat perubahan-perubahan harga yang selanjutnya merubah penawaran, permintaan, ekspor, dan impor. Model ini menghitung suatu harga pasar yang seimbang di mana jumlah global dari perubahan-perubahan impor net sama dengan nol. Model ini mengestimasi semua efek dalam bentuk perubahan-perubahan dari suatu periode referensi.
Efek-efek harga dari perubahan-perubahan kebijakan perdagangan pertanian dapat diobservasi dari persamaan-persamaan 1 dan 2. Persamaan-persamaan ini menunjukkan bahwa harga-harga di dalam negeri semuanya adalah fungsi-fungsi dari harga pasar dunia, proteksi perbatasan seperti bea-bea masuk, subsidi-subsidi, dan kuota-kuota, dan dari bantuan-bantuan domestik. Tidak ada perilaku yang mandiri dari harga-harga domestik. Harga-harga domestik punya karakteristik dari harga-harga grosir perbatasan. Suatu terkecualian adalah harga (penawaran) petani yang bisa dipengaruhi oleh bantuan-bantuan harga ekstra bagi petani (misalnya, pembayaran-pembayaran yang kurang) melebihi dan di atas bantuan akses pasar. Jadi, dengan model ini, data harga domestik tidak diperlukan dan biaya-biaya transaksi (seperti marjin-marjin eceran dan grosir) tidak ikut diperhitungkan. Semua langkah-langkah proteksi diekspresikan dalam ekuivalen-ekuivalen tarif.
Untuk mengakomodasi komoditas-komoditas yang heterogen dengan satu harga, pendekatan yang diadopsi dengan model ini adalah mengestimasi gabungan tarif-tarif  untuk menentukan harga konsumsi dan produksi domestik.[3]Untuk mendapatkan suatu harga gabungan, produk-produk dibagi kedalam tiga grup: impor; ekspor; dan produksi yang ditawarkan ke pasar dalam negeri (Sd). Pertama, suatu belahan harga pasar domestik (td) dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari dua tarif, tarif ekspor (tx) dan tarif impor (tm), di mana timbangan-timbangannya adalah ekspor (X) dan impor (M):
                                                                                                                    (6)

Maka, suatu belahan harga konsumsi dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari tarif impor (tm) dan belahan harga pasar domestik itu (td), di mana timbangan-timbangannya adalah impor (M) dan suplai domestik (Sd):
                                                                                                                            
Sama juga, suatu belahan harga produsen dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari tarif ekspor (tm) dan belahan harga pasar dalam negeri tersebut (td), di mana timbangan-timbangannya adalah ekspor (X) dan suplai di dalam negeri (Sd) ditambah dengan tarif bantuan domestik (tp):
                                                                                                                         (
Belahan-belahan harga konsumen dan produsen ditambahkan ke harga perbatasan untuk memberikan harga-harga domestik. Kalkulasi-kalkulasi ini diterapkan pada tarif-tarif basis dan tarif-tarif akhir. Satu ciri dari struktur ini adalah bahwa jika tidak ada ekspor, harga-harga produsen dalam negeri ditentukan dengan tarif ditambah dengan bantuan domestik.
Di dalam studi ini, perubahan-perubahan kebijakan adalah penghapusan tarif-tarif diluar- dan didalam-kuota di Indonesia dan China. Hasil simulasinya dipresentasikan di Tabel 5 yang menunjukkan perubahan-perubahan dalam ekspor, impor dan volume produksi dalam negeri di kedua negara tersebut. Seperti yang dapat dilihat, untuk lebih dari setengah dari 15 komoditas EHP yang masuk di dalam analisis, ekspor-ekspor Indonesia menurun. Diantara komodita-komoditas tersebut yang mana ekspor-ekspor Indonesia yang diestimasikan meningkat, persentase kenaikkannya dari buahan-buahan tropis ’lainnya’ adalah yang terbesar. Dalam hal impor, hasil simulasi memberi kesan bahwa impor akan naik untuk sebagian besar dari komoditas-komoditas yang diteliti dengan pisang sebagai persentase terbesar. Terakhir, dalam hal produksi domestik, beberapa diantaranya diperkirakan akan meningkat sedangkan sisanya akan menurun. Namun demikian, rata-rata persentase perubahan sangat kecil, yang artinya bahwa dampak keseluruhan dari pelaksanaan kesepakatan EHP (atau penghapusan tarif) lewat efek-efek produksi juga akan kecil.
Di sektor pertanian, kesempatan kerja terutama di subsektor-subsektor padi, daging, sayur-sayuran dan kacang-kacangan (khususnya, kedelai). Berbeda dengan pemilik-pemilik perkebunan, sebagian besar petani di subsektor-subsektor tersebut adalah petani-petani kecil atau marjinal dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar (bahkan, banyak dari mereka tidak punya lahan sendiri) dan mereka miskin (Tabel 6). Itu makanya, walaupun kemiskinan secara umum diakui sebagai suatu fenomena yang sangat multidimensi, di dalam konteks Indonesia, kemiskinan selama ini adalah suatu fenomena perdesaan atau pertanian. Berdasarkan data BPS, sekitar 68,5 persen dari jumlah keluarga miskin terdapat di sektor pertanian, dan pada tahun 2002 sedikit menurun menjadi 67,4 persen. Jadi, implikasi paling penting dari fakta ini adalah bahwa apabila Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain dalam perdagangan komoditi-komoditi pertanian yang disebut di atas, atau lebih jelasnya, apabila China-AFTA untuk pertanian (atau program EHP) mengakibatkan impor Indonesia untuk produk-produk tersebut meningkat, yang selanjutnya mengurangi produksi pertanian di dalam negeri, konsukwensi terhadap kemiskinan di tanah air akan sangat signifikan.
Dugaan Efek-efek terhadap Volume Produksi dari Komoditi-komoditi terpilih tersebut
Produksi
INDONESIA
ASEAN
CHINA
0%
5%
0%
5%
0%
    5%
1 Padi
-0,07
-0,05
-0,11
-0,09
0,07
0,05
2 Daging
0,66
-0,78
0,35
-0,19
0,04
0,01
3 Kedelai
0,02
0,08
-0,27
-1,15
0,13
0,06
4 Gula
-2,01
-1,53
3,15
2,31
-2,02
-1,39
5 Sayuran
0,02
0,04
0,72
0,73
-0,03
-0,05
6 Lainnya
0,02
0,02
-0,03
-0,02
0
0
Jumlah
0,02
0,01
-0,01
-0,02
0,01
0,01

Hasil dari simulasi di dalam penelitian ini memberi kesan bahwa penurunan atau penghapusan tarif impor di Indonesia maupun China (dan di negara-negara ASEAN lainnya) terhadap komoditi-komoditi tersebut akan merugikan Indonesia hingga tingkat tertentu. Tepatnya, volume produksi untuk beberapa dari komoditi-komoditi tersebut di Indonesia akan mengalami suatu penurunan (Tabel 9). Jika tarif impor untuk beras dipotong hingga menjadi 5.0 persen, produksi padi/beras di Indonesia akan berkurang sebesar 5.0 persen juga, dan penurunan itu akan menjadi lebih besar, yakni ke 7.0 persen jika perdagangan beras sepenuhnya diliberalisasikan. Juga hal yang sama akan terjadi terhadap volume produksi gula di dalam negeri. Hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila tarif impor gula adalah 5.0 persen, Indonesia akan kehilangan produksi gulanya sekitar 1,5 persen, dan akan mengalami lebih besar lagi penurunan produksi jika tarif impor terhadap gula sepenuhnya dihilangkan.
Sebaliknya, di China, petani-petani padi akan mendapatkan keuntungan dari perubahan tarif impor tersebut. Tepatnya, volume produksi mereka diperkirakan akan bertambah dengan tarif 5.0 perses, dan peningkatannya akan lebih banyak lagi pada tarif 0 persen. Hasil simulasi ini tentu tidak muncul sebagai suatu kejutan. Sejak berakhirnya revolusi budaya di dekade 1970an, negara raksasa Asia itu tidak hanya berhasil memberi makan penduduknya lebih dari 1 miliar orang, tetapi juga pada waktu yang sama mampu sebagai salah satu negara pengekspor beras di dunia. Indonesia, di sisi lain, dengan jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan China, selama ini terus berjuang untuk mengurangi ketergantungannya pada impor beras. Hanya beberapa periode saja sejak merdeka tahun 1945 hingga sekarang Indonesia pernah menjadi sebuah negara yang mencukupi kebutuhan beras di dalam negeri.
Perkembangan Output Pertanian Jangka Panjang di Sejumlah Negara di Asia,1961-2004
Untuk komoditas-komoditas terpilih lainnya, kecuali daging, menurut hasil simulasi, Indonesia akan mengalami produksi-produksi yang lebih besar apabila tarif-tarif impor untuk komoditas-komoditas tersebut dihapuskan. Tetapi, laju pertumbuhan volume produksi akan berkurang jika tarif impor 5,0 persen  sepenuhnya berpindah ke non-tarif. Khususnya, kedelai yang adalah suatu bahan baku sangat krusial untuk sejumlah produk makanan. Pada tarif impor 5,0  persen, produksi dalam negeri cenderung meningkat 8,0 persen, tetapi hanya 2,0 persen ketika tidak ada sama sekali hambatan-hambatan terhadap impor kedelai. Dalam kenyataannya, Indonesia selama ini sangat tergantung pada impor kedelai, tidak hanya karena produksi di dalam negeri selama ini tidak bisa mencukupi kebutuhan pasar domestik, tetapi juga kualitas dari kedelai Indonesia relatif buruk dibandingkan dengan beberapa negara penting penghasil kedelai seperti  Amerika Serikat (AS),  yang merupakan negara terbesar bagi impor Indonesia untuk produk pertanian yang satu ini.
Terakhir, perihal kemungkinan dampak dari penerapan China-AFTA atau kesepakatan EHP antara China dan Indonesia terhadap total ekspor dan impor Indonesia untuk komoditas-komoditas terpilih tersebut, Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan hasil-hasil yang berbeda. Dalam ekspor, misalnya, dari tarif impor 5,0 persen ke 0 persen, laju penurunan ekspor padi/beras Indonesia cenderung menjadi lebih kecil; sementara, untuk beberapa komoditas lainnya, ekspor-ekspor Indonesian cenderung meningkat. Di sisi lain, Indonesia cenderung melakukan impor lebih banyak untuk komoditas-komoditas tertentu saat tidak ada proteksi sama sekali.

Tabel 10: Efek-efek hasil Simulasi terhadap Nilai-nilai Ekspor dari Komoditas-komoditas Terpilih
Nilai Ekspor
INDONESIA
ASEAN
CHINA
DERET
TOTAL

0%
5%
0%
5%
0%
5%
0%
 5%
 0%
5%
Padi
-33,33
-50,0
2,73
1,32
23,24
15,56
-0,13
-0,07
0,54
0,34
Daging
0,86
-1,74
0,0
0,0
6,20
0,0
-0,03
0,0
-0,004
-0,001
Kedelai
3,33
-8,0
1,53
-4,81
2,54
0,86
-0,07
-0,004
0,02
-0,01
Gula
4,65
0,58
16,42
12,11
27,03
22,22
-0,64
-0,47
0,78
0,58
Sayuran
6,51
0,59
8,00
6,20
3,23
1,13
-0,16
-0,08
0,28
0,18
Lainnya
0,05
0,03
-0,04
-0,04
-0,002
0,01
0,001
0,001
-0,001
-0,001
Total
0,06
0,03
0,02
0,01
0,03
0,02
-0,001
-0,001
0,002
0,001





Efek-efek hasil Simulasi terhadap Nilai-nilai Impor dari Komoditas-komoditas Terpilih
Nilai Impor
INDONESIA
ASEAN
CHINA
DERET
TOTAL

0%
5%
0%
5%
0%
5%
0%
5%
0%
5%
Padi
-28,57
-42,86
0,97
0,23
4,41
3,01
-0,095
-0,06
0,35
0,22
Daging
0,82
-0,82
0,0
0,0
5,47
0,0
-0,02
-0,001
-0,01
-0,002
Kedelai
2,94
-5,29
0,795
-3,28
1,29
0,45
-0,06
-0,005
0,001
-0,01
Gula
3,26
0,73
7,07
5,197
19,96
16,54
-0,54
-0,396
0,32
0,24
Sayuran
4,25
0,36
4,69
3,66
1,96
0,74
-0,17
-0,09
0,12
0,08
Lainnya
0,05
0,03
-0,05
-0,04
-0,00
0,01
0,001
0,001
-0,001
-0,001
Total
0,06
0,034
0,003
-0,001
0,02
0,02
-0,001
-0,001
0,001
0,0004
Perilaku Produsen Dalam Pasar
Pembahasan dasar-dasar teori ekonomi mikro mengenai perilaku produsen: apa pertimbangan produsen dalam menentukan berapa yang akan ditawarkan pada berbagai tingkat harga. Dengan kata lain: apa yang menentukan supply dari segi produsen dan apa yang ada di belakang kurva supply-nya itu. Agar prinsip dasar mudah dipahami, ulasan agak difokuskan pada perusahaan industri dalam bentuk pasar persaingan. Tetapi dengan mudah dapat diterapkan pula pada usaha lain seperti usaha pertanian atau usaha dagang.
Pokok persoalan ekonomi yang dihadapi oleh seorang produsen adalah bagaimana dangan sumber daya yang terbatas dapat mencapai basil yang sebaik-baiknya. Produsen dikatakan berhasil secara ekonomis apabila usahanya itu rendabel mau menghasilkan laba. Untuk mencapai hasil seperti yang diharapkan, seorang produsen harus bertindak secara ekonomis, artinya ia masih mempertimbangkan hasil dan pengorbanan.
Hasil yaitu produk (barang/jasa) yang dihasilkan (= output) yang dinilai dalam uang menurut harga pasar menimbulkan PENERIMAAN (revenue).
BAB II
LAMPIRAN
                Data sosial ekonomi edisi Juni 2010 ini mencakup antara lain mencakup : perkembangan bulanan inflaso sampai dengan mei 2010 , ekspor impor sampai dengan April 2010 , perkembangan triwulanan pertumbuhan ekonomi dan  industri, perkembangan tahunan penduduk , ketenaga kerjaan dan data kemiskinan 2010 .
1)      Inflasi  Mei 2010 sebesar 0,2%
Pada Mei 2010 terjadi inflasi sebesar 0,2% .Dari 66 kota tercatat  58 kota yang mengalami inflasi dan 8 kota yang mengalami deflasi.Inflasi tertinggi terjadi di Meumare ( 1,51%) dan terendah terjadi di Jambi (0,01%).Inflasi Mei 2010 jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Mei 2009 yang mengalami inflasi 0,04% .Inflasi tahun kelender Mmei 2010 sebesar 1,44% dan laju inflasi Mei 2010 terhadap 2009 sebesar 4,16%.


Menurut jenis pengeluaran rumah tangga inflasi IHK atau inflasi umum terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada kelompok bahan makan 0,49% sandang 1,19 %,pendidikan ,rekreasi dan olahraga 0,02% dan jasa keuangan 0,02%.Inflasi IHK Mei 2010 sebesar  0,29% berasal dari andil komponen inti 0,15% , inflasi komponen inti bulan Mei 2010 sebesar 0,25% tahun kalender 2010 sebesar 1,23% dan year on year rehadap tahun 2010 dan 2009 sebesar 3,81%.



2)      Produk Domestik Bruto triwulan 2010 tumbuh menjadi 5,7%
PDB triwulan 2010 tumbuh menjadi 5,7% dibanding triwulan 2009 diamana semua sektor tumbuh positif.Sektor perdagangan ,  tumbuh sebesar 9,3% dibanding triwulan 2009.Pertumbuhan positif PDB triwulan 2010 terhadap triwulan seelumnya  terjadi pada konsumsi rumah tangga sebesar 0,9%, sedangkan konsumsi pemerintah turun 44,4% , pembentukan modal bruto menurun 2,3% ,ekspor turun sebesar 4,1% dan impor turun sebesar 2,3%.






























3)      Nilai Ekspor April 2010 mencapai 12,05 milliar Dolar Amerika , naik 42, 56%.
Nilai ekspor April 2010 mencapai kenaikan 42,56% bila dibandingkan dengan tahun 2009 namun turun Maret 2010
                                                                                               



















BAB III
DAFTAR PUSTAKA